Bandung –
Sunda sebagai Daerah dihuni Bersama Kelompok yang punya upacara adat. Berbagai hal mulai Bersama menanam padi, memanen, hingga pernikahan ada upacara adatnya. Upacara adat itu Justru ada yang masih dilestarikan hingga kini.
Upacara adat jika ditelusuri sumbernya, memang tidak ada sumber pasti Sebelum kapan upacara itu dilakukan Bersama para leluhur orang Sunda, Tetapi yang jelas upacara adat diturunkan Bersama generasi Ke generasi hingga Di ini.
Di ini, sebagian Kelompok yang Di perkotaan cenderung Bagi tidak melaksanakan upacara adat. Boleh Bersama Sebab Itu selain Lantaran pelaku upacara adatnya sudah berkurang Lantaran usia, biaya Bagi membeli perlengkapan upacara juga terbilang mahal Bersama Produk-Produk yang juga langka. Tetapi, Di pedesaan, upacara adat masih dipegang teguh. Upacara adat Sunda penuh Bersama simbol-simbol pengajaran tentang kebaikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk artikel ini, Berencana dibahas setidaknya 10 upacara adat yang masih dilestarikan hingga kini Bersama sebagian Kelompok kota dan desa Di Sunda.
10 Upacara Adat yang Masih Dilestarikan hingga Kini
1. Mitembeyan
Upacara adat Mitembeyan adalah upacara adat Sunda yang dilakukan Sebelumnya memulai menanam padi. Secara harfiah, ‘mitembeyan’ bermakna memulai. Biasanya, mitembeyan dilakukan Bersama membuat sesajen. Upacara ini dipimpin Bersama tetua kampung atau lebe (penghulu).
Tujuan Bersama upacara ini adalah Bagi meminta izin dan berkah kepada Tuhan Sebelumnya melakukan pekerjaan yang Berencana dimulai, yakni menanam padi. Mitembeyan sendiri sejatinya dimulai Di padi Di penyemaian sudah siap ditebar dan ditanam Di lahan sawah.
Nanti Di Di-Di, ketika padi mulai berbulir, orang Sunda pemilih sawah Berencana memperlakukan hamparan pagi itu selayaknya perempuan yang Untuk mengandung, Bersama Sebab Itu betul-betul dirawat Bersama baik. Di sini pun ada upacara lagi yang isinya berdoa Bagi kemulusan padi hingga panen.
2. Nyalin
Jika padi telah ranum, sudah saatnya ia dipanen. Orang Sunda pantang memetik bulir padi atau buah Di pohon tanpa meminta izin. Orang Sunda terikat ungkapan ‘mipit kudu amit, ngala kudu menta’ (memetik harus pamit, menuai harus meminta).
Maka, ada upacara nyalin. Upacara adat Nyalin adalah upacara Bagi mengucapkan syukur kepada Tuhan dan mulai memanen padi yang dianugerahkan itu. Di Itu, nyalin berarti menyiapkan kembali sawah yang telah dipanen Bagi ditanami kembali.
Untuk Wawacan Sulanjana, disebutkan bahwa padi Di Sunda ada Lantaran perantaraan Nyi Pohaci atau Dewi Sri. Maka, tak pelak Nyi Pohaci juga termasuk tujuan yang kepadanya disampaikan terima kasih.
3. Seren Taun
Hasil panen yang melimpah sudah sepatutnya disyukuri. Kelompok Sunda bersyukur atas hasil panen Di setahun Untuk bentuk upacara adat Seren Taun.
Secara harfiah ‘seren’ berarti menyerahkan, semantara ‘taun’ adalah tahun. Bersama Sebab Itu, Seren Tahun bisa dimaknai sebagai ‘serah terima atau pergantian tahun, Bersama tahun Sebelumnya Itu Ke tahun yang Terbaru’.
Seren taun biasanya diisi Bersama Kegiatan menyerahkan hasil panen Ke Untuk leuit atau lumbung padi. Di Sunda, leuit atau lumbung padi tidak dikuasai Bersama perorangan, melainkan milik adat Bagi kemaslahatan penduduk. Lokasinya juga terpisah Bersama pemukiman. Ini dilakukan Bagi menjaga jika terjadi peristiwa bencana misalnya kebakaran. Jika kampung terbakar, leuit sebagai cadangan Ketahanan Pangan tetap aman.
4. Ngalaksa
Ungkapan rasa syukur nyatanya bukan hanya bisa dibunyikan Bersama kata-kata seperti Untuk doa. Kelompok juga bisa bersyukur Bersama Bunyi dan kudapan.
Di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dikenal upacara adat Ngalaksa. Upacara ini dilakukan setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi dan sebagai penghormatan Pada Nyi Pohaci.
Untuk upacara ini dimainkan Seni Kearifan Lokal tradisional Tarawangsa. Orang-orang hanyut Untuk petikan jentreng dan bunyi tarawangsa. Mereka bisa menari mengikuti irama Bunyi yang ‘mistis’ itu Bersama selendang terkalung Di leher.
Di Itu, Ngalaksa juga diisi Bersama prosesi membawa padi Ke lumbung, membuat Hidangan laksa (sejenis Hidangan Bersama tepung beras), dan berbagai kegiatan ritual lainnya.
5. Ngeuyeuk Seureuh
Drama Untuk bahasa Sunda berjudul “Amat Jaga” karya Saini K.M. yang dipentaskan Teater Awal Bandung menampilkan adegan ketika Amat yang hasil panennya melimpah mengajak perempuan bernama Tiwi Bagi menikah.
Hasil panen melimpah membuat seorang lelaki Di Sunda mampu Bagi melangsungkan perkawinan. Tetapi, Sebelumnya menikah, ada upacara adat ‘Ngeuyeuk Seureuh’ yang harus dilalui.
Upacara ini semacam ‘Belajar seks’ Bagi Kandidat pengantin. Upacara ‘ngeuyeuk seureuh’ atau ‘mengolah sirih’ Bagi laki-laki Untuk Kearifan Lokal Sunda merupakan Pada Bersama upacara pernikahan adat yang Memiliki makna mendalam.
Di Untuk upacara itu bukan sebatas Belajar seks, Tetapi nyatanya ada pedoman kehidupan Rumah tangga. Untuk ‘ngeuyeuk seureuh’, Kandidat pengantin laki-laki membelah bunga pinang (simbol perempuan) dan menyiapkan sirih yang Berencana digunakan Untuk ritual.
6. Sawer
Untuk Kearifan Lokal pernikahan Di Sunda, ada upacara sawer. Sawer yakni seorang juru kawih atau juru sawer mendendangkan lagu sawer yang isinya penuh Bersama nasihat agar kedua mempelai mendengarkan dan diharapkan mengikuti nasihat-nasihat Di Untuk bahasa Sunda itu.
Di akhir nasihat, sering dibubuhi Bersama Unjuk Rasa menebarkan uang koin yang menjadi rebutan hadirin pesta pernikahan yang notabene merupakan para pengantar pengantin (peserta seserahan) dan tuan Rumah.
7. Tingkeban
Di Di hikmah pernikahan adalah lahirnya generasi Terbaru. Perempuan mengandung dan melahirkan. Tetapi Di Sunda, kehamilan adalah sesuatu yang sangat dijaga Supaya perlu doa-doa keselamatan Bagi sang ibu dan janin. Maka, ada upacara adat Tingkeban.
Kearifan Lokal ini punya kemiripan Bersama Kearifan Lokal Di etnis Jawa. Di Sunda, tingkeban merupakan upacara adat yang dilaksanakan ketika perempuan menginjak usia hamil 7 bulan. Biasanya, dilakukan sejumlah ritual seperti mandi air kembang.
Selebihnya, syukuran Bersama cara berdoa, berbagi Hidangan, Justru ada yang berbagi rujak Tetapi harus dibeli Bersama anak-anak Bersama benda berupa bentuk koin Bersama potongan genting.
8. Nenjrag Bumi
Anak yang lahir Di Sunda tak luput Bersama upacara adat. Anak-anak yang Terbaru lahir biasanya Berjuang Bersama upacara ‘nenjrag bumi’ yang berarti menginjak atau menghentak bumi. Nenjrag bumi adalah sebuah upacara adat Sunda yang dilakukan Di bayi lahir yakni Bersama memukulkan alu (alat Bagi mengulek) Ke tanah sebanyak tujuh kali. Ritual ini bertujuan agar bayi kelak menjadi berani, tidak mudah takut, dan terkejut.
9. Ngaruwat Bumi
Di Untuk kamus, ngaruwat ditulis tanpa ‘w’, ngaruat. Artinya Mengadakan doa-doa Bagi menolak bala atau bencana. Orang yang Terbaru punya Rumah, misalnya, biasa Mengadakan upacara ngaruat imah. Orang punya kendaraan Terbaru, ngaruat kandaraan. Dan seterusnya.
Tetapi, ada istilah khusus yang dipakai sebagai upacara Bersama rangkaian upacara menghormati padi, yaitu Ngaruwat Bumi.
Dikutip Bersama situs Pemerintah Kabupaten Subang. Misalnya Di Subang, Jawa Barat, upacara ngaruwat bumi telah berumur ratusan tahun. Tetapi kesakralannya sebagai Kearifan Lokal Kelompok agraris tetap terasa.
“Ngaruwat bumi adalah ungkapan syukur atas hasil yang diperoleh Bersama bumi. Pengharapan setahun Ke Didepan, serta penghormatan kepada leluhur. Ruat Untuk bahasa sunda artinya mengumpulkan dan merawat. Yang dikumpulkan dan dirawat adalah Kelompok dan hasil buminya.”
“Ruwatan bumi juga disebut hajat bumi, menggenapi rangkaian upacara yang digelar Sebelumnya Itu, seperti: upacara hajat solok, Mapag Cai, mitembiyan, netepkeun, nganyarkeun, hajat wawar, ngabangsar, dan kariaan. Mayoritas diantaranya Yang Berhubungan Bersama proses Agrikultur, khususnya budidaya padi. Bersama Kearifan Lokal ruwatan bumi, padi Memiliki tempat istimewa. Padi atau beras, Untuk keyakinan Kelompok setempat, tidak hanya sebagai bahan Ketahanan Pangan. Padi diyakini bermula Bersama Kegiatan dewi-dewi Supaya bersifat sakral dan segala proses menghasilkannya dipandang suci.” tulis situs itu.
10. Susur Tanah
Orang meninggal dunia Di Sunda dikuburkan. Di masa lalu Untuk kisah-kisah berlatar zaman Pajajaran seperti Untuk ‘Raden Banyak Sumba’ karya Saini K.M. jenazah orang Sunda dibakar dan abunya disimpan Di tempat khusus.
Di Sunda masa kini, Sesudah menguburkan orang, para pengantar jenazah tidak langsung pulang, melainkan berkumpul dahulu Di Rumah duka. Tuan Rumah Berencana Mengadakan upacara adat Susur Tanah.
Susur tanah itu seperti Kegiatan tahlil atau kenduri kecil-kecilan yang dihadiri keluarga inti dan para pengantar jenazah. Di dalamnya diucapkan doa-doa yang baik, doa keselamatan agar ruh sang jenazah diterima amal baiknya dan diampuni kesalahannya.
(iqk/iqk)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: 10 Upacara Adat Sunda yang Masih Dilestarikan hingga Kini