Bandung –
Dedi Mulyadi kembali menjalankan Kegiatan yang dicintainya seusai pencoblosan Ke Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2024. Kegiatan itu yakni: Tinggal Ke desa, bertani, beternak, dan menjalankan Latihan rutin.
Ke Lembur Pakuan, Kabupaten Subang, tempatnya tinggal dia telah membuktikan filsafat Sunda ‘Réa Ketan, Réa Keton’ telah membawa dampak besar Untuk Kesejaganan Kelompok Di. Paling tidak, ada hampir 100 orang yang bekerja Ke Lembur Pakuan, mulai Untuk mengurus sawah hingga ternak sapi dan kerbau.
‘Réa Ketan, Réa Keton’ adalah filsafat tentang ketahanan Ketahanan Pangan. Tetapi, Kandidat Gubernur Jawa Barat yang secara quick count telah memenangi Pilgub Jabar Didalam raihan 61 persen suara itu mengaku sering Disorot mengucapkan ‘mantra’. Padahal menurut Dedi, apa yang disangka mantra itu adalah dasar pembangunan Untuk manusia.
“Ada yang bilang kang Dedi baca mantra, itu bukan mantra, itu kalimat filosofi Sunda yang Memiliki makna pembangunan, misalnya kalimat ini. Réa ketan réa keton; Buncir leuit, loba duit; Bru Ke juru bro Ke panto, ngalayah Ke Ditengah imah; Ke pipir aya petikeun; Ke kolong aya si jambrong, na para aya si jago itu adalah kalimat tentang sistem ketahanan Ketahanan Pangan,” katanya kepada detikJabar, Kamis (28/11/2024).
Lantas apa itu mantra, dan apa makna ‘réa ketan, réa keton’?
Makna Mantra
Ke Minangkabau mantra menjadi Dibagian Untuk sastra lisan lama Area ini. Sambil Itu Ke Sunda, kata mantra sepadan Didalam ‘jampé’ atau jampi.
Jika jampé adalah bahasa Sunda, maka mantra diserap Untuk bahasa Sansakerta. Tetapi baik ‘mantra’ maupun ‘jampé’ artinya sama Didalam ‘doa’. Kata ‘doa’ diserap Untuk bahasa Arab du’a yang bermakna panggilan atau permohonan Untuk yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi.
Kamus Sundadigi buatan Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan lema ‘Jampé’ sebagai ‘(mantra) doa yang Disorot dapat menyembuhkan Gangguan atau menolak suatu bahaya.
Jampé Ke Sunda biasanya diucapkan tidak Didalam sembarangan orang, jika kalimat jampé ingin bertuah atau berdampak. Pembaca jampé umumnya adalah orang-orang yang Disorot suci. Lebihterus suci pengucapnya, Lebihterus berdampak jampé itu.
Lantas, apakah yang diucapkan Dedi Mulyadi termasuk mantra? Semua kalimat-kalimat yang baik tentu Ke hakikatnya adalah mantra, adalah doa, adalah jampé Untuk menolak bahaya, misalnya berupa kesengsaraan dan Ketahanan Pangan Global. Kendati secara struktur, apa yang diucapkan Dedi Mulyadi merupakan paribasa.
Paribasa
Kalimat-kalimat yang sering diucapkan Dedi Mulyadi dan Disorot ‘mantra’, Malahan kentara Pada debat-debat publik Pemungutan Suara Kepala Daerah Serentak Jawa Barat yang digelar Komisi Pemilihan Umum (Penyelenggara Pemilihan Umum) sejatinya adalah paribasa.
Kelompok Sunda mengenal paribasa sebagai kalimat yang sengaja disusun Untuk menyampaikan makna yang lebih luas. Makna yang dicapai Didalam paribasa atau peribahasa itu bisa bernilai nasihat atau petuah. Lama kelamaan, paribasa itu terbentuk sebagai filsafat Untuk Kelompok Sunda Untuk memahami dan Berusaha Mengatasi kehidupan.
Contohnya, paribasa réa ketan, réa keton yang bisa dibaca sebagai petuah Untuk Kelompok Sunda mengupayakan diri Didalam bekerja sebaik Bisa Jadi supaya sumber daya alam betul-betul berguna Untuk hidup Didalam sejahtera.
Mari kita urai paribasa-paribasa Sunda yang diucapkan Dedi Mulyadi Ke atas:
Réa Ketan Réa Keton
Peribahasa ini menggambarkan Situasi Negeri yang subur-makmur, segala ada, segala tersedia, ingin ini ada, ingin itu ada. Untuk bahasa Sunda disebut pula Situasi ini sebagai ‘sagala nyampak’, semua tersedia.
Ini bisa dibaca dua sisi. Pertama sebagai Situasi ideal yang pernah digapai Kelompok Sunda Ke masa lalu ketika paribasa itu terbentuk sebagai ekspresi lisan atas Situasi yang serba sejahtera. Kedua, sebagai pelecut agar Kelompok Sunda kini Melakukanupaya menggapai Situasi ideal itu.
Réa adalah kata Sunda Untuk menyebutkan banyak, melimpah, sepadan Didalam kata ‘loba’ atau ‘ngalayah’. Sambil Itu ‘ketan’ adalah jenis padi yang jika ditanak Berencana menghasilkan beras yang sangat empuk. Ketan juga menjadi bahan ulen (uli), kudapan khas Sunda.
Apa itu keton? Keton adalah kata Untuk mengungkapkan uang, duit, fulus. Asalnya Dukaton, yaitu Kurs Mata Uang Belanda yang jika dirupiahkan Rp 3,15. Karena Itu, ungkapan ‘réa ketan,réa keton’ secara literal adalah ‘banyak stok Ketahanan Pangan, banyak uang pula’.
Buncir Leuit, Loba Duit
Pernah membaca ‘Wawacan Sulanjana’ tentang asal-usul padi Ke Sunda? Nah, dahulu Kelompok Sunda dilarang menjual padi sebab padi adalah titipan. Kelompok Sunda sangat menghormati padi, Malahan padi bukan Disorot titipan Nyi Pohaci Dangdayang Sri, melainkan padi adalah Nyi Pohaci itu sendiri. Padi adalah Produk Internasional publik yang harus dinikmati Didalam publik.
Maka, dahulu Kelompok Sunda menyimpan padi Ke tempat yang cukup jauh Untuk Tempattinggal, yaitu Ke ‘Leuit’. Mengapa jauh? Ini supaya jika terjadi sesuatu yang bahaya seperti kebakaran Tempattinggal, stok padi tidak ikut terbakar Sebab cukup jauh lokasinya.
Jika Terbaru panen padi, Situasi leuit Berencana sangat penuh. Berjejal padi Ke leuit. Situasi berjejal itu Untuk bahasa Sunda disebut ‘Buncir’. Terbaru, Situasi Dompet yang penuh sesak Didalam uang juga disebut buncir.
Maka, makna ‘Buncir Leuit, Loba Duit’ adalah kaya raya. Banyak uang. Perut penuh Konsumsi, saku penuh Didalam uang.
Bru Ke Juru, Bro Ke Panto, Ngalayah Ke Ditengah Imah
Untuk suatu Situasi Ke Tempattinggal orang-orang yang berkelimpahan harta, banyak Produk Internasional-Produk Internasional bernilai. Produk Internasional-Produk Internasional itu terdapat Ke mana-mana Ke Untuk Tempattinggal itu. Ada yang tergeletak Ke Di pintu, ada yang terlempar Di pojokan, saking banyaknya Produk Internasional-Produk Internasional.
Produk Internasional-Produk Internasional itu tentu bukan ‘bubututan’ (Produk Internasional tak terpakai) yang tidak bernilai, melainkan sebagai ‘banda’ atau Produk Internasional kekayaan pemilik Tempattinggal.
Demikianlah yang diungkapkan Untuk peribahasa ‘Bro Ke Juru, Bro Ke Panto, Ngalayah Ke Ditengah Imah’. Bro adalah kata Untuk mengungkapkan Produk Internasional yang banyak dijatuhkan Di satu tempat sampai menggunung. Ngalayah berarti berantakan. Berantakan Ke Ditengah Tempattinggal, saking banyaknya kekayaan.
Ke Pipir Aya Petikeun
Pipir adalah halaman Di Tempattinggal-Tempattinggal Ke pedesaan Sunda. Ke pipir, orang-orang desa terbiasa menanam berbagai tanaman Terapi, sayuran Untuk lauk nasi, Supaya ketika ingin makan, tidak perlu susah berbelanja, tinggal memetik Ke Di Tempattinggal.
Tanaman yang biasa dijadikan lalapan misalnya leunca (ranti), daun singkong, labu siam, dan lain sebagainya. Apa yang dipetik bisa dimakan mentah atau diolah sebagai masakan sayur seperti lompong.
Ke Kolong Aya Si Jambrong, Na Para Aya Si Jago
Jika ‘petikeun’ adalah kekayaan nabati yang bisa dipetik ketika Kelompok perlu Untuk makan, maka peribahasa ini lebih Di kekayaan hewani yang dimiliki Kelompok Sunda.
Ke kolong berarti Ke bawah Tempattinggal yang Tempattinggal Ke Sunda Ke masa lampau merupakan Tempattinggal panggung Untuk kayu, Supaya punya kolong.
Ke kolong Tempattinggal ini, biasa dipelihara hewan-hewan yang dapat disembelih ketika Kelompok Berusaha Mengatasi hari-hari spesial. Biasanya dipelihara ayam. Kata Jambrong sendiri merujuk kepada hewan berbulu yang biasa dipelihara, tidak sebatas ayam.
‘Na Para’ berarti Ke langit-langit Tempattinggal, Ke bawah atap. Ada ‘Si Jago’, ini merujuk kepada kebiasaan ayam yang bertengger Ke Di atap Tempattinggal, atau sengaja ditempatkan Didalam pemilik Tempattinggal Untuk berada Ke atap.
Demikian paribasa yang diucapkan Dedi Mulyadi yang sejatinya merupakan harapan, doa, dan upaya, agar Kelompok Jawa Barat Lebihterus baik dan kembali mencapai situasi ideal sebagaimana pernah terjadi Ke masa lampau, seperti yang terbaca Untuk paribasa-paribasa itu.
(yum/yum)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Makna ‘Rea Ketan, Rea Keton’ Filsafat Sunda yang Dipegang Dedi Mulyadi