Solo –
Mitos orang Jawa tidak boleh menikah Bersama orang Sunda masih beredar hingga kini. Sebagian orang Sunda percaya bahwa perkawinan lintas suku ini bisa membawa kesialan, hidup melarat, hingga Tempattinggal tangga yang tidak langgeng. Keyakinan ini terus diwariskan turun-temurun, meski tidak semua orang Sunda meyakininya.
Prof Dr Suwardi Endraswara Untuk Literatur Etnologi Jawa menjelaskan, perbedaan Kearifan Lokal Dunia Di Jawa dan Sunda sering disebut sebagai salah satu alasannya. Bahasa Jawa banyak didominasi akhiran ‘o’, sedangkan bahasa Sunda lebih sering memakai ‘eu’ atau ‘a’. Contohnya nama Parto Di Jawa menjadi Parta Di Sunda, atau Joko menjadi Jaka.
Orang Sunda juga Memiliki ragam logat, ada yang lembut seperti Di Bandung, Cianjur, dan Bogor, ada pula yang kasar seperti Di Karawang, Cikarang, dan Banten. Perbedaan ini membuat orang Sunda merasa Memiliki identitas yang khas, Supaya mereka tidak ingin disebut orang Jawa meski sama-sama tinggal Di Pulau Jawa.
Penasaran bagaimana asal-usul mitos orang Jawa tidak boleh menikah Bersama orang Sunda? Mari simak uraian lengkap yang dihimpun Bersama Literatur Sejarah Kelam Majapahit tulisan Peri Mardiono dan Hitam Putih Jawa Sunda tulisan Muhammad Mahibuddin. Mari kita simak!
Asal-usul Mitos Orang Jawa Dilarang Menikah Bersama Orang Sunda
Latar Dibelakang mitos larangan pernikahan orang Jawa dan Sunda adalah peristiwa Konflik Bersenjata Bubat. Konflik Bersenjata ini melibatkan Kerajaan Majapahit Bersama Jawa dan Kerajaan Sunda. Mari simak kronologi peristiwa tersebut.
1. Ide Pernikahan
Di masa kejayaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk berniat menikahi putri Kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri itu terkenal sangat cantik, Justru kabarnya Hayam Wuruk jatuh hati Sesudah melihat lukisan wajahnya.
Pernikahan ini sebenarnya dimaksudkan Sebagai mempererat hubungan Di Majapahit dan Sunda. Hubungan keduanya memang Memiliki ikatan leluhur, Supaya pernikahan Dikatakan sebagai jalan rekonsiliasi politik.
Akan Tetapi ada satu keputusan penting. Upacara pernikahan diputuskan berlangsung Di Majapahit. Keputusan ini menimbulkan keberatan Di kalangan bangsawan Sunda. Untuk adat Pada itu, tidak wajar pihak perempuan yang datang Di pihak laki-laki. Meski demikian, Raja Sunda Linggabuana tetap berangkat.
2. Kedatangan Rombongan Kerajaan Sunda Di Majapahit
Prabu Linggabuana berangkat bersama Dyah Pitaloka, permaisuri, para pejabat, dan sejumlah prajurit pengawal. Jumlah pasukan mereka tidak banyak. Sesampainya Di Majapahit, rombongan itu ditempatkan Di Pesanggrahan Bubat.
Di sinilah masalah muncul. Patih Gajah Mada melihat kesempatan Sebagai menyempurnakan Sumpah Palapa. Di ini, hanya Kerajaan Sunda yang belum tunduk Di Majapahit. Maka ia mengusulkan agar kedatangan rombongan Sunda Dikatakan sebagai penyerahan diri.
Hayam Wuruk sebenarnya menolak usulan itu. Ia tetap Mencari pernikahan, bukan penaklukan. Akan Tetapi Gajah Mada bertindak sendiri. Ia tetap memandang Dyah Pitaloka bukan sebagai Kandidat permaisuri, melainkan sebagai tanda tunduk Sunda kepada Majapahit.
3. Perselisihan Di Bubat
Ketika utusan Gajah Mada menyampaikan Keinginan itu, rombongan Sunda terkejut. Mereka merasa dijebak. Bukannya Merasakan undangan pernikahan, ternyata mereka diperlakukan sebagai pihak kalah. Kata-kata kasar dan kecaman pun dilontarkan kepada Gajah Mada.
Walau Diprotes, Gajah Mada tetap bersikeras. Ia lalu mengerahkan pasukan Bhayangkari Sebagai mengepung Pesanggrahan Bubat. Suasana menjadi mencekam. Jumlah pasukan Majapahit jauh lebih besar dibandingkan rombongan Sunda.
Prabu Linggabuana Berusaha Mengatasi pilihan sulit. Akan Tetapi sebagai seorang ksatria, ia menolak tunduk Di Keinginan Gajah Mada. Baginya, lebih baik gugur Di medan Konflik Bersenjata daripada mengakui Penurunan tanpa kehormatan.
4. Arena Tragis
Arena akhirnya tak terhindarkan. Pasukan Majapahit yang besar menyerbu Pesanggrahan Bubat. Mereka berhadapan Bersama pasukan pengawal Sunda yang jumlahnya sedikit.
Arena berlangsung tidak seimbang. Para prajurit Sunda yang tergolong kecil jumlahnya melawan gelombang pasukan Bhayangkari. Mereka berjuang Bersama gagah, tetapi satu per satu mulai tumbang.
Para pejabat dan Pembantu Ri Sunda yang ikut Untuk rombongan juga ikut berperang. Mereka tidak hanya datang Sebagai urusan pernikahan, tetapi kini terpaksa mengangkat senjata Untuk mempertahankan kehormatan negeri. Akan Tetapi keberanian itu tidak mampu menahan arus besar serangan Majapahit.
Akhirnya Prabu Linggabuana sendiri ikut gugur. Sang raja tewas Di Ditengah medan, bersama hampir seluruh pengawal dan pejabat kerajaan Sunda. Rombongan itu habis dibantai. Tragedi ini Lalu dikenang sebagai peristiwa berdarah yang menoreh luka mendalam Di Majapahit dan Sunda.
5. Bela Pati Dyah Pitaloka
Di Ditengah kehancuran itu, Dyah Pitaloka Merasakan kematian ayahnya. Ia juga melihat seluruh rombongan Sunda yang menyertainya gugur satu per satu. Kesedihan mendalam menimpa dirinya.
Sebagai putri kerajaan, ia memilih jalan bela pati. Ia bunuh diri Sebagai menjaga kehormatan diri dan bangsanya. Tindakan ini dipandang sebagai kewajiban Untuk seorang perempuan kasta ksatria ketika para laki-lakinya telah gugur Di medan Konflik Bersenjata. Bersama cara itu, ia berharap harga dirinya tetap terjaga. Bela pati juga dipandang sebagai jalan Sebagai menghindari kemungkinan dipermalukan, dianiaya, atau dijadikan budak Bersama pasukan lawan.
Dyah Pitaloka pun wafat Bersama cara itu. Unjuk Rasa bela pati ini Mungkin Saja juga diikuti Bersama perempuan-perempuan Sunda lainnya Untuk rombongan, baik bangsawan maupun abdi memilih mati daripada menanggung aib.
Hayam Wuruk sangat berduka mendengar kematian Dyah Pitaloka. Ia menyesali tragedi itu, tetapi penyesalannya datang terlambat. Yang semula diniatkan sebagai pernikahan indah berubah menjadi Arena tragis. Bersama sinilah Putaran kelam Konflik Bersenjata Bubat diakhiri Bersama darah dan kesedihan.
Dampak Konflik Bersenjata Bubat Di Hubungan Jawa-Sunda
Bersama peristiwa Bubat inilah luka mendalam itu berubah menjadi jarak yang sulit dijembatani. Hubungan Di Sunda dan Majapahit tidak pernah lagi sama. Tragedi Bubat tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menanamkan permusuhan yang panjang. Bersama sinilah akar mitos larangan pernikahan Jawa-Sunda mulai terbentuk.
1. Dampak Langsung Sesudah Konflik Bersenjata
Tragedi Bubat tidak hanya memutus nyawa para bangsawan Sunda, tetapi juga memutus hubungan politik Di dua kerajaan besar. Hayam Wuruk memang menyesali kejadian itu. Akan Tetapi penyesalan tidak mampu mengembalikan nyawa Dyah Pitaloka dan keluarganya.
Kerajaan Sunda yang tersisa Lalu dipimpin Bersama Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Dyah Pitaloka. Ia masih kecil ketika tragedi Bubat terjadi, Supaya tidak ikut Untuk rombongan Di Majapahit. Dialah satu-satunya penerus keluarga kerajaan Sunda yang selamat.
Sesudah dewasa, Niskalawastu naik takhta. Ia memimpin kerajaan Sunda Bersama hati yang penuh luka akibat tragedi yang menimpa keluarganya. Bersama sinilah Keputusan keras Di Majapahit mulai diberlakukan.
2. Bersama Aturan Istana Menjadi Larangan Sosial
Prabu Niskalawastu Kancana memilih Sebagai memutus hubungan diplomatik Bersama Majapahit. Ia tidak ingin lagi menjalin kedekatan Bersama kerajaan yang telah membantai keluarganya. Hubungan Sunda dan Jawa pun resmi renggang.
Bukan hanya itu, ia juga menerapkan aturan khusus Di Untuk istananya. Aturan itu melarang adanya pernikahan Di bangsawan Sunda Bersama orang Jawa. Larangan ini bertujuan menjaga martabat keluarga kerajaan, sekaligus sebagai bentuk perlawanan diam Di Majapahit.
Keputusan ini Lalu meluas Di Komunitas umum. Lambat laun, aturan istana Dikatakan sebagai aturan adat. Banyak orang Sunda Lalu meyakini bahwa menikah Bersama orang Jawa adalah hal yang tabu.
Larangan pernikahan ini terus hidup Bersama generasi Di generasi. Awalnya, larangan itu hanya berlaku Untuk keluarga kerajaan Sunda. Akan Tetapi seiring waktu, ia ditafsirkan lebih luas. Di Ditengah Komunitas, muncul keyakinan bahwa orang Sunda tidak boleh menikah Bersama orang Jawa. Keyakinan ini Dikatakan sebagai warisan langsung Bersama tragedi Bubat. Bersama sinilah muncul mitos yang terus bertahan hingga kini.
Untuk sebagian orang, larangan ini dipandang sebagai simbol perlawanan. Akan Tetapi Untuk sebagian lainnya, ia dipandang sebagai cara menjaga harga diri keluarga. Bersama Lantaran itulah, mitos ini begitu kuat melekat Untuk kebudayaan Komunitas.
3. Sentimen Antarsuku
Selain aturan pernikahan, tragedi Bubat juga menimbulkan luka batin kolektif. Rasa permusuhan dan kecurigaan Di Komunitas Sunda dan Jawa terbentuk Dari peristiwa itu. Luka ini tidak sembuh Untuk waktu singkat, Justru terus diwariskan Lewat cerita lisan dan naskah kuno.
Kidung Sunda atau Kidung Sundayana, yang ditulis Di Bali, menjadi salah satu bukti betapa peristiwa ini sangat dikenang. Komunitas Bali Justru mengagumi keberanian keluarga Sunda yang memilih mati Bersama terhormat. Hal ini Lebih menegaskan bahwa tragedi Bubat bukan sekadar konflik politik, tetapi juga tragedi kehormatan.
Di Jawa sendiri, nama Gajah Mada mulai Diperjuangkan. Meski ia adalah tokoh besar Majapahit, tindakannya Di Bubat membuat banyak pihak meragukan kebijaksanaannya. Ia pun perlahan kehilangan pengaruh Untuk pemerintahan.
4. Mitos yang Bertahan Hingga Kini
Meski zaman sudah berubah, mitos ini masih hidup Di Ditengah Komunitas. Banyak orang tua Sunda yang tetap menolak jika anaknya menikah Bersama orang Jawa. Mereka percaya larangan itu Akansegera membawa kesialan, atau menimbulkan ketidakberkahan Untuk Tempattinggal tangga.
Akan Tetapi, menurut sejumlah sejarawan, larangan ini sebenarnya hanyalah tafsir Bersama peristiwa Bubat. Sebagian menyebutnya mitos belaka, bukan aturan adat yang sejati. Justru ada anggapan bahwa larangan itu dipelihara Bersama penjajah Sebagai memecah belah bangsa Indonesia.
Kendati demikian, dampak psikologis Bersama Konflik Bersenjata Bubat memang nyata. Kenangan pahit itu telah menanamkan jarak emosional Di dua kelompok besar, Jawa dan Sunda. Bersama situlah mitos larangan pernikahan ini tumbuh subur.
Karena Itu, itulah tadi ulasan lengkap mengenai Konflik Bersenjata Bubat yang menjadi asal usul mitos larangan orang Jawa menikah Bersama orang Sunda. Semoga bermanfaat!
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Asal-usul Mitos Orang Jawa Tidak Boleh Menikah Bersama Orang Sunda