Angklung Sered Balandongan, Kearifan Lokal Perlawanan yang Kini Karena Itu Karya Seni



Tasikmalaya

Angklung telah menjadi warisan Kearifan Lokal Global tak benda yang diakui UNESCO. Alat Bunyi tradisional Kelompok Sunda itu, ternyata Memperoleh banyak jenis atau melahirkan banyak Inovasi sesuai Bersama kultur Kearifan Lokal Global Daerah-Daerah Hingga Jawa Barat. Sebut saja angklung Buncis, angklung Gubrag, angklung Badeng dan lain-lain.

Hingga Tasikmalaya ternyata ada satu jenis permainan angklung yang bernama Angklung Sered Balandongan. Karyaseni atau permainan angklung yang satu ini agak berbeda, Lantaran dibumbui Dari adu kekuatan fisik. Sesuai namanya “sered” yang berarti dorong, angklung ini justru diwarnai Dari bentrok fisik secara langsung.

Malahan jika merunut sejarah Angklung Sered Balandongan, angklung ini menjadi ajang pertarungan sampai mati, mirip ajang gladiator Hingga zaman Romawi. Samping Itu Hingga masa penjajahan Belanda, Kelompok Tasikmalaya menjadikan Karyaseni angklung ini sebagai cara atau sarana membunuh penjajah.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus Ahmad Wakih, budayawan Tasikmalaya sekaligus peneliti Karyaseni Angklung Sered Balandongan menjelaskan Karyaseni yang satu ini sejarahnya berkembang Hingga Kampung Balandongan, Desa Sukaluyu, Kecamatan Mangunreja Kabupaten Tasikmalaya.

“Dinamakan Angklung Sered Balandongan Lantaran cara bermain angklung ini dibumbui Dari adu kekuatan. Kalau Balandongan merujuk kepada tempat awal Karyaseni ini muncul,” kata Agus, Sabtu (21/6/2025.

Agus sendiri sudah meneliti Karyaseni asli Tasikmalaya ini Dari 1991, dan dijadikan materi penyusunan disertasi gelar doktor yang kini dia sandang. Menurut Agus, sejarah Angklung Sered Balandongan muncul Dari 1901. Awalnya angklung menjadi alat komunikasi sekaligus senjata Dari Kelompok Hingga Daerah Mangunreja Tasikmalaya. “Dikenal Bersama istilah Angklung Tangara, yang berarti kode atau alat komunikasi,” kata Agus Hingga sela Peristiwa Gelar Kearifan Lokal Global Hingga Universitas Perjuangan Tasikmalaya.

Jika ada orang tak dikenal masuk Hingga Daerah Mangunreja, warga Akansegera saling memberi tahu Bersama kode suara angklung. Dari dulu sudah ada 3 jenis angklung yang digunakan. Yakni angklung keureuleuk, yakni angklung kecil bersuara nada tinggi. Kedua angklung engklok, berukuran Lagi. Ketiga angklung gem, angklung besar bernada rendah.

“Karena Itu kalau ada orang tak dikenal atau Belanda datang, yang pertama melihat Akansegera membunyikan keureuleuk, itu penanda Untuk yang tak dikenal. Jika yang datang inohong (pejabat) lain lagi kodenya,” kata Agus.

Hingga masa itu kawasan Mangunreja menjadi salah satu incaran pendudukan penjajah, Lantaran Daerah itu merupakan sentra perkebunan Minuman Kafein, kapulaga dan hasil bumi lainnya. “Angklung juga Pada itu dijadikan senjata, tabung bambunya dibuat lebih panjang dan ditajamkan. Agar mirip bambu runcing,” kata Agus.

Menurut cerita Kelompok, beberapa orang penjajah yang menindas warga Mangunreja Hingga masa itu, hilang nyawa akibat dihujam angklung. Cerita ini juga dibumbui unsur-unsur magis yang berkaitan Bersama kesaktian Olahragawan angklungnya.

Sejarah Setelahnya Itu berlanjut Hingga Di tahun 1908 ketika Bupati Sukapura (Tasikmalaya) dijabat RAA Wiratanuningrat. Pemimpin yang satu ini dikenal Memperoleh Kesenangan Karyaseni beladiri silat Maenpo. “Hingga zaman Bupati Wiratanuningrat Di 1908 angklung Tangara ini dimodifikasi, supaya ada “kamonesan” (kreasi), dibuat permainan,” kata Agus.

Akhirnya muncul yang namanya Angklung Adu, Hingga masa inilah permainan angklung Lebih kental Bersama unsur adu kekuatan atau dikenal Bersama istilah adu jajaten. Angklung yang Sebelumnya sekedar Alat Karyaseni suara, alat komunikasi dan alat perjuangan berubah menjadi pertarungan sampai mati. “Bupati Wiratanuningrat juga membuat ajang pertarungan, Skuat mana yang berhasil Berhasil maka Akansegera dijadikan badega (pengawal) Hingga Pendopo,” kata Agus.

Alhasil Angklung Adu menjadi ajang pertarungan para jagoan Hingga Tasikmalaya. Para pendekar bertebaran mencari ilmu kadugalan (pertarungan) agar bisa berjaya Hingga ajang Angklung Adu. Hingga moment ini pula berkembang jurus-jurus yang kini menjadi gerakan khas Bersama pertunjukan Angklung Sered Balandongan.

Seperti jurus Geblig Cihandeuleum, ini adalah gerakan menghentak atau nginjakkan kaki. Konon Hingga masa lampau, jika jurus ini dikeluarkan, maka Pada kaki yang tenggelam Hingga tanah sampai Hingga betis. Ada juga jurus Bintih Hayam, gerakannya terinspirasi Bersama gerakan menyamping ayam jago yang Akansegera menyerang. “Bintih Hayam itu sikap kuda-kuda miring, mirip ayam mau ngabintih (menyerang),” kata Agus.

Setelahnya Itu ada jurus Jogol Munding, ini adalah Metode menghantam lawan Bersama kekuatan bahu. “Gerakan atau jurus lainnya diadopsi Bersama Maenpo atau Cimande,” kata Agus.

Hingga masa ini, Angklung Adu tak ubah seperti ajang gladiator Lantaran para Olahragawan Akansegera menyabung nyawa. Beradu kekuatan dan kesaktian Bersama iringan irama ritmis angklung. Pertarungan tak hanya sekedar memperebutkan posisi badega (centeng/pengawal) sebagaimana sayembara Bupati. Tapi meluas menjadi ajang pertarungan adu gengsi, adu ego, baik antar kampung mau pun antar individu.

“Para Olahragawan yang Akansegera bertarung diharuskan membawa kain kafan sendiri, jika kalah maka Akansegera langsung dikuburkan. Kelompok Karena Itu gontok-gontokan. Pertarungan Malahan terjadi hanya gara-gara saling sahut suara angklung,” kata Agus.

Kearifan Lokal ini terus bergulir hingga memasuki zaman kemerdekaan Indonesia. Pada itu pula nilai-nilai agama dan Kearifan Lokal Global, perlahan Berusaha mengikis Kearifan Lokal brutal itu. “Masuk tahun 1950, angklung adu mulai ditinggalkan. Seorang tokoh Hingga Kampung Balandongan Mangunreja, bernama Abah Sain mengajak Kelompok Untuk mengembalikan angklung sebagai Karya Seni yang menghibur,” kata Agus.

Hingga masa inilah Angklung Sered Balandongan tercipta, yang merupakan hasil transformasi Bersama Angklung Tangara dan Angklung Adu. Meski tetap diwarnai adu kekuatan fisik, setidaknya Angklung Sered Balandongan tak lagi memakan korban nyawa.

Hanya sebatas saling dorong, beradu bahu dan kaki. Paling banter jatuh tersungkur atau kaki bengkak akibat benturan. “Permainannya dibagi 2 Skuat, setiap Skuat 11 orang. Mereka saling sered (dorong), Menerbitkan jurus boleh, tapi tak sampai mencelakai. Karena Itu berubah, condong Hingga hiburan ketangkasan, bukan pertarungan sampai mati,” kata Agus

(iqk/iqk)

Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Angklung Sered Balandongan, Kearifan Lokal Perlawanan yang Kini Karena Itu Karya Seni