Bandung –
Sebagai Lokasi agraris Di Kelompok yang dahulunya menggantungkan hidup Di bercocok tanam, Kelompok Sunda Ke Jawa Barat punya banyak waktu luang. Sebagai mengisi waktu luang, terciptalah berbagai Seni Kearifan Lokal dan alat-alat Alunan yang enak didengar tatkala dibunyikan. Satu Ke Antara alat Alunan tradisional Ke Sunda adalah karinding.
Karinding bisa dibuat Di pelepah pohon aren atau enau, Akan Tetapi umumnya yang ditemukan Pada ini adalah karinding yang terbuat Di bambu. Karinding punya bunyi yang enak didengar, jika diresapi Berencana terdengar seperti suara tonggeret, sejenis serangga yang berbunyi sebagai penanda senja.
Alat Alunan yang sama boleh Di Sebab Itu ditemukan Ke kebudayaan lain. Ke Bali misalnya, ada alat Alunan serupa bernama genggong atau jika mendengarkan Alunan-Alunan country, sering terdengar bunyi seperti karinding.
Untuk artikel ini, pembahasan dikhususkan Ke karinding Di Tanah Sunda. Seperti apa bentuk karinding, cara memainkan, dan makna filosofisnya? Simak yuk!
Alat Alunan karinding. (Foto: Istimewa/tangerangkota.go.id)
|
Bentuk Karinding
Karinding, baik yang dibuat Di bahan enau maupun bambu adalah sebilah tipis yang bisa digenggam. Karinding punya tiga Dibagian mulai Di pegangan hingga area tempat memukulkan jemari.
Area pegangan panjangnya selebar tiga jari dirapatkan. Lalu Dibagian Ditengah sepanjang dua jari dirapatkan. Terakhir, tempat memukulkan jari, panjangnya seukuran dua jari dirapatkan.
Ke Dibagian Ditengah yang dipukul ada yang disebut ‘cecet ucing’. Cecet ini bergetar Pada pangkalnya dipukul. Cecet yang bergetar itulah yang Berencana menimbulkan suara.
Akan Tetapi, ada pula yang menyebutkan bahwa Dibagian keempat yang tak boleh dilupakan Untuk struktur karinding adalah bandul Ditengah.
Hinhin Agung Daryana, akademisi Seni Kearifan Lokal Di ISBI Bandung Ke Untuk Jurnal Pembelajaran dan Kajian Seni Kearifan Lokal Vol.1, No.2, Oktober 2016 menjelaskan tentang karinding Di Cimarigang.
“Karinding Ciramagirang terbuat Di pelepah kawung yang berukuran 15 cm s/d 20 cm, Di lebar 1 s/d 2 cm. Memiliki empat Dibagian yaitu paneunggeul (Dibagian yang dipukul), dua buntut lisa (Dibagian yang bergetar), pembatas lidah getar (bandul Ditengah), dan panyekel (Dibagian ujung karinding). Pohon kawung saeran (enau) Dikatakan bahan paling baik Lantaran suara yang diproduksi Berencana nyaring juga mempunyai daya Konsisten yang kuat.” tulis Hinhin.
Selain bentuk tradisional itu, ada pula karinding yang telah Merasakan modifikasi, Ke antaranya yang dibuat Di Asep Nata, yang Lalu dinamai Karinding Towel, merujuk kepada cara memainkannya yang dicolek (toel), bukan dipukul.
Cara Memainkan Karinding
Memainkan karinding perlu kedua tangan dan rongga mulut. Tangan kiri memegang ‘panyekel’ dan salah satu jari tangan kanan memukul ‘paneunggeul’. Jika ‘cecet’ bergetar, getarannya itu digaungkan Hingga rongga mulut Di cara menempelkan karinding Hingga bibir, seolah-olah Lagi menggigit karinding.
Akan Tetapi, agar bisa membunyikan karinding. Perlu dua langkah dilakukan Di pemula. Pertama adalah mempelajari bagaimana cara memukul agar cecet bergetar. Jika getarannya hampir habis, disambung Di pukulan Berikutnya agar getaran cecet tidak putus.
Jika tangan dan jemari sudah piawai dan terbiasa memukul karinding, maka langkah kedua adalah membunyikannya Ke tempat yang tepat, yaitu Ke mulut.
Tempelkan karinding Ke bibir dan biarkan cecet-nya leluasa bergetar. Getaran cecet Berencana memantul Ke rongga mulut dan menimbulkan suara.
Para ekspertis memainkan karinding sudah mengikuti irama tabuhan seperti gogondangan atau tutunggulan, menirukan bunyi tabuhan lesung. Selain taat Ke aturan tabuhan, pengaturan nafas juga menentukan irama yang keluar Di tabuhan karinding.
Alat Alunan karinding. (Foto: Istimewa/tangerangkota.go.id)
|
Makna Filosofis Karinding
Kimung, pemerhati sejarah sekaligus personel Karinding Attack Ke artikel berjudul Filosofi Karinding Sunda menjelaskan tiga Dibagian karinding, yang ketiganya mengandung makna filosofis.
Menurutnya, Dibagian pertama disebut ‘panyepengan’, yakni Dibagian yang harus dipegang Di mantap; Dibagian kedua adalah ‘cecet ucing’ Ke mana buluh bambu karinding yang dibuat kecil dan tipis Berencana bergetar dan menghasilkan bunyi ketika dipukul; Dibagian ketiga adalah ‘paneunggeulan’. Ketiga Dibagian Di struktur karinding itu punya makna yakin, sadar, dan sabar.
Dikutip Di detikBali, Rahmat Kurnia, Ketua Karinding Patanjala menjelaskan karinding Ke Untuk bahasa Sunda berasal Di kata ‘ka ra da hyang’. Artinya, Di diiringi doa Sang Maha Kuasa. Akan Tetapi ada juga yang mengartikan sumber bunyi, terdiri Di kata ‘ka’ diartikan sumber dan ‘rinding’ sebagai bunyi.
Karinding dan Modern Ke Bandung
Banyak pendapat mengatakan bahwa karinding dimainkan sebagai kalangenan (kesukaan) Kelompok agraris Ke Jawa Barat ketika mereka menunggu padi yang Ditengah ranum Ke sawah.
Maka, hingga kini, karinding dimainkan sebagai alat Alunan tunggal. Dimainkan mandiri dan tanpa ada ketegasan kapan mulai dan kapan berakhir.
Hingga karinding berjumpa Di Kelompok Kota Bandung. Hinhin Agung Daryana Untuk studi berjudul Pergeseran Fungsi Instrumen Karinding Ke Jawa Barat menjelaskan Alunan karinding mencapai puncaknya ketika dimainkan selayaknya instrumen melodis sebuah Grup Musik.
“Perkembangan Alunan karinding Ke Kota Bandung mencapai puncaknya ketika karinding difungsikan seperti layaknya sebuah instrumen melodis Untuk sebuah Grup Musik, baik Di cara memainkannya, kemasan pertunjukan, manajemen, serta Cara memainkannya yang banyak Menerapkan gaya Alunan barat.” tulisnya.
Ke Bandung, ada kelompok Alunan Karinding Attack disingkat Karat, yang mengekplorasi permainan karinding sebagai ekspresi musikalitas. Menurut Hinhin, Karat percaya bahwa Alunan hanya diciptakan satu, tetapi ekspresi musikalitasnya yang bisa berbeda-beda.
“Pemahaman itu menggiring Karat Sebagai melakukan terobosan, banyak kolaborasi yang dilakukan baik Di Tokoh Musik blues, Metal, Punk, Jazz, Hiphop, Alunan elektronik, Pop maupun Di Alunan tradisional lain seperti Angklung,” tulisnya.
(orb/orb)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Bentuk, Cara Memainkan, dan Makna Filosofis