Genggong, Alat Bunyi Kuno Bali Sebelum Abad Ke-11



Gianyar

Genggong adalah alat Bunyi tradisional Bali yang kini mulai jarang dikenal, terutama Dari generasi muda. Meski kalah populer dibandingkan rindik, suling, atau ceng-ceng, genggong sejatinya adalah warisan Kebiasaan Global kuno yang sudah ada Sebelum abad Ke-11.

Seniman Bunyi genggong asal Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, I Nyoman Suwida menjelaskan genggong masuk Ke Desa Batuan diperkirakan Di tahun 1970-an. Seiring berjalannya waktu, genggong berpadu Di alat Bunyi lain, yang diawali kolaborasi Di seruling. Di Desa Batuan, genggong dimainkan bersama Di Bunyi geguntangan.

“Genggong itu alat Bunyi individu, tidak ada ansambelnya. Dia itu alat Bunyi agraris sebenarnya semasa dulu. Karena Itu, sore sambil menunggu sawah digarap, mereka bermusik. ‘Nyanan abe genggonge, ajake megenggong Di carik (nanti bawa genggong, kita mainkan Di sawah,’ seperti itu orang dulu bilang. Kadang bisa Di pura, banjar, juga dipakai Sebagai Memikat lawan jenis”, cerita Suwida kepada detikBali, Sabtu (19/7/2025).


Lelaki berusia 50 tahun tersebut menuturkan bahwa orang yang berbakat Bunyi Di masa itu Berencana lebih mudah disukai para perempuan, termasuk lelaki yang memainkan genggong. Setiap desa Di Bali juga dikatakan turut bermain genggong.

Apalagi, era 1990-an, Suwida menyebut kunjungan para wisatawan Ke Bali berada Di puncaknya. Inilah yang membuka kesempatan Sebagai seniman genggong bisa tampil Ke berbagai Peristiwa Di hotel dan vila.

“Saya pertama kali belajar genggong 1980-an. Langsung diajak tampil Dari sebuah sanggar, padahal belum bisa Di itu. Di situ terus didorong Sebagai tampil. Setelahnya Itu, 2006 diundang main genggong dan geguntangan Di Jew’s Harp Perayaan Seni Amsterdam, Belanda,” kenang Suwida.

Akan Tetapi, kepopulerannya mulai tergerus pasca Bom Bali II dan kini tersisa sedikit seniman genggong. Sebagai itu, Suwida pun Melakukanupaya mempertahankan warisan Kebiasaan Global ini.

Bersama anak-anak dan remaja Di lingkungan Desa Batuan, ia membentuk sanggar belajar alat Bunyi tradisional termasuk genggong yang dinamai Genggong 8. Diselipkannya angka delapan Di maksud perjalanan genggong tidak Berencana terputus.

Mereka berasal Di berbagai kalangan usia Di anggota termuda kelas 6 SD. Semuanya punya perannya masing-masing Di Skuat.

Mereka bermain genggong Di memberi embusan napas Di mulut (bukan ditiup) sambil Memikat tuas bambunya. Permainan dilakukan Di mengikuti sistem notasi gamelan Bali yang terdiri Di ding, dong, deng, dung, dan dang.

“Sebelum Peristiwa Perayaan Seni itu, Karena Itu terbuka bahwa perjalanan genggong bisa sejauh itu. Ada orang-orang yang mengapresiasi. Lalu, punya pikiran kalau bukan kami yang mengajari generasi penerus, mereka tidak Berencana tahu. Kami pengaruhi dulu yang Didekat. Saya kasi genggong gratis Ke anak-anak sini Sebagai Memikat rasa ingin tahu mereka”, ujar Suwida.

Di tangan Suwida, genggong tidak hanya tampil secara instrumental Di berbagai Peristiwa keagamaan. Malahan, alat Bunyi yang tergolong harpa mulut itu mampu tampil Di Peristiwa Bunyi Terbaru. Kolaborasi paling sering bersama grup Balawan yang Memiliki aliran Bunyi jazz.

“Saya sering berkolaborasi Di Tokoh Musik lain. Kami mainnya live. Alat Bunyi lain pakai notasi, ini tidak. Saya pakai feeling saja dan koordinasi Di komposernya. Ini genggong kapan masuknya dan sekian bar”, imbuh Suwida.

Selain Manajer musiknya yang masih jarang, Suwida berujar, bahan bakunya turut langka. Ia rela jauh memesan Ke Tenganan, Karangasem, Sebagai Memperoleh pelepah aren yang terbaik. Menurutnya, perlu pelepah yang kondisinya sudah tua dan kering Sebagai menghasilkan suara yang nyaring. Genggong Setelahnya Itu dibuat Suwida seorang diri.

Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Genggong, Alat Bunyi Kuno Bali Sebelum Abad Ke-11