Jejak Nyama Selam, Sejarah Identitas Kelompok Muslim Bali

Daftar Isi



Denpasar

Pulau Dewata tidak hanya dihuni Dari suku Bali saja, melainkan ada Nyama Selam. Nyama Selam merujuk Di Kelompok Islam Hingga Bali yang menjalankan Kebiasaan dan Kebiasaan Global Bali Untuk kehidupan sehari-hari.

Seperti Hingga Desa Bukit, Kecamatan Karangasem. Kelompok Hindu dan Islam hidup berdampingan Untuk ikatan yang Dari warga setempat disebut sebagai Nyama Bali, Nyama Selam yang artinya saudara Hindu dan saudara Muslim.

Tidak banyak yang tahu, keharmonisan ini bukan hanya hasil Untuk kebiasaan sosial, tetapi berakar kuat Untuk sejarah panjang politik Kerajaan Karangasem, hubungan pertuanan Bersama Kelompok Sasak Lombok, hingga simbol-simbol Kebiasaan Global yang dijaga sampai kini.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di masa tersebut, belum terlihat masalah fundamental Kelompok muslim Hingga Bali, tetapi sudah ada tanda-tanda cikal-bakal akulturasi Untuk sebuah konflik halus Bersama penyebutan Nyama Selam, yang diintrodusir Bersama istilah jelema selam, jelema dauh tukad, jelema kedituan, jelema mengkono, dauh tukad, dan sebagainya. Agar Keterlibatan yang intens menciptakan percepatan tumbuhnya Kelompok multikultural.

Maka Nyama Selam diakui sebagai kelompok Kelompok beragama islam yang mengimplementasikan kebudayaan Bali dan diakui sebagai etnis tersendiri Hingga Bali.

Akar Sejarah Kehadiran Muslim Hingga Karangasem

Ratusan warga Hingga Kampung Kecicang Islam, Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali, Melakukan Kebiasaan Menekan Sebagai merayakan hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah. (Foto: I Wayan Selamat Juniasa/detikBali)

Kehadiran Kelompok Islam Hingga Karangasem tidak terlepas Untuk ekspansi kerajaan Hingga Lombok Di 1691-1740. Sesudah menaklukkan Kerajaan Selaparang, Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem, kembali Hingga Bali membawa sejumlah pusaka penting.

Pusaka itu Hingga antaranya Bende, gong kecil yang Sebelumnya Itu menjadi genderang Konflik Bersenjata Hingga Lombok. Bersama pusaka itu, Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem juga membawa kelompok Kelompok Sasak Sebagai tinggal dan menjaga Perlindungan puri. Mereka inilah cikal bakal komunitas Islam yang Sesudah Itu menetap Hingga berbagai Area Karangasem, termasuk Hingga perbukitan Desa Bukit.

Mengutip Eksperimen I Made Pageh, Wayan Sugiartha, dan Ketut Sedana Artha, berjudul “Toleransi Nyama Bali-Nyama Selam Hingga Desa Bukit, Karangasem, Bali dan Potensinya sebagai Sumber Belajar Sejarah Hingga SMA”; menjelaskan bahwa harmoni Antara komunitas Hindu dan Muslim Hingga Bali bukanlah Trend Populer Mutakhir, melainkan hasil Untuk perjalanan sejarah panjang Sebelum masa pra-kolonial.

Hingga sejumlah Area seperti Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar), Gelgel Klungkung), hingga Loloan (Jembrana), komunitas muslim telah hidup berdampingan Bersama Kelompok Hindu Bali Pada ratusan tahun. Keterlibatan yang terus-menerus ini menumbuhkan ikatan sosial yang Sesudah Itu melahirkan istilah ‘Nyama Bali’ Untuk umat Hindu dan ‘Nyama Selam’ Untuk umat Muslim, penanda bahwa keduanya saling mengakui sebagai keluarga.

Penempatan Kelompok Islam tidak dilakukan sembarangan. Kerajaan Karangasem menghormati keyakinan mereka Bersama menempatkan komunitas Sasak yang menganut Islam Wetu Telu Hingga kawasan perbukitan, tempat yang Dikatakan sakral dan Di Bersama nilai spiritual mereka.

Hubungan Bersama Puri Karangasem

Destinasi Wisata Sejarah di Puri Agung KarangasemDestinasi Wisata Sejarah Hingga Puri Agung Karangasem Foto: Ni Made Nami Krisnayanti

Hubungan Kelompok Islam Bersama Puri Karangasem terjalin Untuk ikatan gusti-kawulo, relasi pertuanan tradisional. Puri Karangasem Memberi tanah perkebunan sekaligus tempat tinggal Untuk warga Islam Hingga Desa Bukit. Sebagai balasannya mereka Memperoleh peran penting Untuk ritual kerajaan.

Hingga kini, Kelompok Islam masih memikul tugas sebagai Juru Sapuh dan pemikul Bende Untuk upacara Pujawali Hingga Pura Bukit, pura keluarga Kerajaan

Karangasem yang dibangun Sebelum abad Hingga-16. Bende yang dahulu simbol penaklukan kini justru berubah menjadi simbol toleransi dan persaudaraan..

Harmoni ini bertahan Lantaran adanya faktor integratif, mulai Untuk kedekatan sejarah, peran kerajaan, relasi ekonomi, hingga Kebiasaan bersama. Di masa kerajaan, misalnya komunitas muslim sengaja ditempatkan Hingga Di pusat kekuasaan seperti Puri Karangasem Sebagai memperkuat lini Defender. Penempatan itu justru melahirkan hubungan kaula-gusti yang berlangsung turun-temurun.

Selain sejarah politik, hubungan sosial-Kebiasaan Global juga memperkuat integrasi. Hingga Pegayaman dan Budakeling, Kelompok muslim memakai nama-nama khas Bali seperti Wayan, Nyoman, atau Ketut, berbicara Untuk bahasa Bali, serta mengikuti Kebiasaan lokal seperti ngejot, Kebiasaan saling mengirim Citarasa ketika hari raya. Umat Hindu mengirim Citarasa Pada Galungan dan Nyepi, Sambil umat muslim melakukan hal serupa Hingga Idul Fitri.

Integrasi juga tampak Untuk ritual keagamaan tertentu. Hingga Desa Pemogan misalnya, Kidung Ahmad Muhammad, sebuah kidung bernuansa Islam, justru menjadi Pada penting Untuk prosesi melasti Pada Nyepi. Kebiasaan ini Menunjukkan adanya peminjaman Kebiasaan Global yang berlangsung alami antarumat.

Toleransi Hingga Desa Bukit Untuk Kehidupan Sehari-hari

Pihak LDII Bali bersama dengan Pecalang ketika ngejot daging kurban kepada warga lintas agama yang berada di kawasan LDII Bali, di Jalan Padang Griya II No 1 Denpasar, Bali pada Minggu (10/7/2022).Pihak LDII Bali bersama Bersama Pecalang ketika ngejot daging kurban kepada warga lintas agama yang berada Hingga kawasan LDII Bali, Hingga Jalan Padang Griya II No 1 Denpasar, Bali Di Minggu (10/7/2022). Foto: Ni Made Lastri Karsiani Putri/detikBali

Ada empat bentuk utama toleransi yang masih berjalan Hingga Desa Bukit:

1. Subak Abian Tri Loka Pala Seraya

Didirikan Di 1984, subak ini unik Lantaran dikelola Dari anggota Hindu dan Islam secara bersama-sama. Mereka bermusyawarah Sebagai menentukan kepengurusan, pembagian lahan, dan pengairan secara adil. Untuk persiapan upacara Hingga Pura Subak, Kelompok Islam ikut membantu persiapan dan Justru menyediakan bahan Sebagai banten; warga Hindu menghormati kehadiran warga muslim yang berdoa sesuai kepercayaannya.

2. Pacalang Jaga Baya

Sebelum 2020, Desa Bukit Memiliki pecalang gabungan yang terdiri Untuk umat Hindu dan Islam. Pecalang Jaga Baya bertugas menjaga Perlindungan Pada upacara besar kedua agama, mulai Untuk Idul Fitri hingga Nyepi kolaborasi yang Menunjukkan bahwa Perlindungan desa adalah tanggung jawab bersama tanpa memandang agama.

3. Kebiasaan Magibung

Magibung, Kebiasaan makan bersama Untuk satu wadah tidak hanya dilakukan Untuk upacara Hindu, tetapi juga dipakai Untuk Peristiwa Kelompok Islam seperti pernikahan dan syukuran. Setiap kelompok menyiapkan Citarasa sesuai keyakinan masing-masing, lalu menyantapnya bersama sebagai tanda penghormatan dan kedekatan sosial.

4. Ngejot: Mengirim Hidangan Sebagai Tanda Kasih

Kebiasaan anggota Kelompok saling mengirim Citarasa Pada hari raya atau perayaan tertentu masih sangat hidup. Baik Untuk Galungan, Kuningan, Nyepi, maupun Idul Fitri, Kelompok saling mengantarkan nasi, jajan, atau hidangan lain sebagai simbol syukur dan persaudaraan. Kebiasaan ini membuat hubungan antarwarga tanpa memandang agama terikat Dari rasa saling peduli.

(nor/nor)



Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Jejak Nyama Selam, Sejarah Identitas Kelompok Muslim Bali