Bandung –
Menjadi perantara Di perempuan dan laki-laki supaya berjodoh ternyata bukan peran orang Pada ini saja. Di zaman Sunda kuno, ada pula peran serupa Mak Comblang.
Mak Comblang menurut KBBI daring adalah ‘perantara pencari jodoh; perantara yang menghubungkan atau mempertemukan Kandidat suami istri’. Di Untuk bahasa Sunda, Mak Comblang disebut ‘Panglayar’. Panglayar biasanya adalah perempuan yang diberi tugas Untuk menyampaikan ucapan, surat, hingga hadiah Di masing-masing pihak.
detikers, Di Zaman Sunda kuno, ketika Kerajaan Sunda beribu kota Di Pakuan Pajajaran (Bogor Pada ini) Mak Comblang sudah eksis. Di Di Mak Comblang Sunda Kuno adalah perempuan bernama Jompong Larang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah tentang Jompong Larang ini termaktub Di Untuk Kitab Bujangga Manik, sebuah naskah kuno yang diduga dibuat Di abad Ke-15 M. Naskah itu berisikan catatan perjalanan Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan, atau yang bernama Ameng Layaran yang melakukan perjalanan ziarah Ke tempat-tempat keramat, pertapaan, sekolah agama, dan tempat para guru keagamaan, Di Pulau Jawa dan Bali.
Menurut Prof. Agus Aris Munandar, ahli arkeologi, Bujangga Manik bisa dibaca pula Pu Janggama Manik atau (M)Pu Janggamanik yang artinya kurang lebih “pengelana yang dihormati” (Jumantara, Vol.1 No.1 Tahun 2010).
Identitas Kitab Bujangga Manik
Menurut situs Balai Bahasa Jawa Barat, naskah Bujangga Manik adalah naskah Sunda Kuno. Ditulis Di atas Alattulis palem (daun lontar) beraksara dan bahasa Sunda Kuno. Naskah ini diduga ditulis kurang lebih Di akhir abad Ke-15 atau awal abad Ke- 16, Di Mengkaji nama-nama kerajaan-kerajaan yang aktif Di masa itu dan disebutkan Untuk naskah tersebut.
Naskah Bujangga Manik ini merupakan koleksi perpustakaan Bodleian Di Oxford, Inggris Di nomor katalogus MS Jav b 3 (R). Terdaftar Sebelum tahun 1627 atau 1629.
Situs Balai Bahasa Jawa Barat menegaskan bahwa Di Untuk kitab atau naskah Bujangga manik ini tidak ditemukan kata yang berasal Di Bahasa Arab, Supaya boleh dipastikan bahwa naskah ini dibuat Di masa Pra-Islam Di Sunda.
Sepintas Isi Kitab Bujangga Manik
Disebutkan bahwa peristiwa ini terjadi Di Istana Di kawasan Pakancilan (Di Sungai Cipakancilan, sungai yang diapit Ciliwung dan Cisadane) dan suasana kesedihan mendalam Sebab semua orang Berencana melepas pergi seorang pangeran muda bernama Prabu Jaya Pakuan. Semua orang menangis, termasuk ibundanya, Ratu Bancana.
Prabu Jaya Pakuan hendak pergi Ke Timur, melanglang berbagai tempat, sebagaimana dia sebutkan. Perjalanan yang pertama ini dilakukannya Untuk waktu yang tidak sebentar, Di Pakuan Pajajaran dia berjalan kaki sampai Ke Pamalang (Pemalang?).
Dia mengatakan bahwa area-area Majapahit dan Demak telah dia kunjungi Sebelumnya akhirnya tiba Di Pamalang. “Ku ngaing geus kaideran, lurah-lerih Majapahit, palataran alas Demak.”
Di Pamalang, dia menumpang perahu hingga Kalapa (Jakarta), dan kembali Ke Pakancilan, tempat tinggalnya Untuk bertemu ibunda kembali. Di sini dia tinggal sebentar sampai suatu peristiwa terjadi. Yaitu, ibunda memintanya Memperoleh lamaran seorang putri bernama Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Akan Tetapi, Prabu Jaya Pakuan yang kini sudah punya nama Terbaru, Ameng Layaran menolak Untuk menikah.
Sebagai resi, dia mengungkapkan makna-makna Di balik semua hadiah lamaran Di sang putri Sakean Kilat Bancana yang dibawakan Jompong Larang. Sesudah itu, Ameng Layar undur diri Untuk pergi berkelana kembali.
Di Pakuan Pajajaran, dia pergi berkelana sampai Ke Balungbung Di jalur yang berbeda Di perjalanan yang pertama, tinggal setahun Di Balungbung Di bertani dan mendirikan Lingga Untuk beribadah, Ameng Layaran pergi Ke laut. Di Laut dia mencari kapal tumpangan Ke Bali.
Sampai Di Bali, Bujangga Manik tinggal tidak lama. Sebatas setahun lebih, lalu dia memutuskan Untuk pulang Ke tempat asalnya. Dia menumpang perahu yang Berencana berlayar Ke Palembang lanjut Pariyaman. Bujangga Manik sendiri menumpang sampai Balungbungan.
Dia Sesudah Itu berjalan, melewati gunung-gunung hingga Lamajang, termasuk dia melintasi Gunung Mahameru. Berjalan terus hingga Ke Papandayan, lalu berjalan Ke utara Ke Gunung Langlayang (Manglayang?), berjalan terus sampai Ke Sungai Cisokan, lanjut Ke Gunung Gede.
Hampir Di Ke Pakuan Pajajaran, Bujangga Manik malah tidak pulang. Dia pergi Ke Ujung Kulon, lalu kembali Ke Cisanti, Hulu Citarum dan perjalanan itu berakhir Di Di Hulu Sungai Cisokan Di Gunung Patuha.
Peran Mak Comblang Si Jompong Larang
Mak Comblang ini bernama Jompong Larang. Dia dikisahkan jika berjalan bergoyang tubuhnya Mungkin Saja Sebab besar, dikiaskan Di bentuk tubuh gajah. “Dingaran si Jo(m)pong Larang, gupuh sigug ga(m)pang kaeur, leu(m)pang bitan gajar jawa.” (Dia yang dipanggil Jompong Larang, sangat gugup, ceroboh, mudah terganggu, dan berjalan seperti gajah Jawa).
Untuk naskah Bujangga Manik, tokoh Di kadatuan yang berlokasi Di sebelah barat Istana Pakancilan ini tiba-tiba datang Ke Pakancilan dan menanyakan tentang keberadaan seorang resi yang tak lain adalah Ameng Layaran. Begitu melihat lelaki muda itu, Si Jompong Larang merasa sangat tertarik.
“Dingaran si (Jom)pong Larang, na bogoh hamo kapalang, diilikan dibudian, dideuleu diteuteuh-teuteuh, ti manggung dikaha(n)dapkeun, ti ha(n)dap dikamanggungkeun. Bogoh kanu pangawakan”
(Dia yang dipanggil Jompong Larang, benar-benar terlihat tergoda, dia memerhatikannya dan menelitinya, dia memerhatikannya Di seksama, Di kepala sampai kaki, benar-benar tergoda Dari bentuk tubuhnya)
Sepulang Di Pakancilan, dia Ke kadatuan tempat Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana berada. Di istana itu, dia bercerita tentang apa yang Terbaru saja dilihatnya, yaitu lelaki muda Di perawakan yang pas, dan dirasa olehnya cocok Untuk dojodohkan Di Ajung Larang.
Pengelihatan Jompong Larang atas Ameng Layaran seperti ini:
“Giling bitis pa(n)cuh geulang, tareros na tuang ramo,para(n)jang na tuang ta(ng)gay, be(n)tik halis sikar dahi, suruy hu(n)tu be(n)tik tungtung, sumaray dadu ku seupah.
(Pahanya padat, pergelangan tangannya molek, jari tangannya runcing, kukunya panjang, alisnya melengkung, pelipisnya menyatu, susunan giginya yang indah, bergerak miring (?) dan merah Sebab mengunyah pinang.)
“Carekna si Jorong Lo(m)pong: “Taan urang Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, ra(m)pes teuing jeueung aing: Latara teuing nu kasep. /6r/ Inya kasep inya pelag, keur meujeuh pasieupan deung taan urang Ajung Larang.“
(Jompong Larang berkata: “Putri kami, Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, sangatlah indah apa yang ku lihat: Seseorang laki-laki sangat tampan. Tampan, adil, sangat cocok Di Putri Ajung Larang!”)
“Sanembal si Jo(m)pong Larang: “Samapun ngaranna Ameng Layaran. Latara teuing na kasep, kasep manan Banyak Catra, leuwih manan Silih Wangi, liwat ti tuang ponakan. Ageungna se(ng)serang panon, [keur meujeuh] pauc-pauceun Di a(n)jung, timang-timangeun Di ranjang, tepok tepokeun Di kobong, edek-edekeun Di rengkeng. Teher bisa carek Jawa, w(e)ruh Di na eusi tangtu, lapat Di tata pustaka, w(e)ruh Di darma pitutur, bisa Di sanghiang darma.”
(Jompong Larang menjawab: “Mohon maaf, Putri, nama laki-laki itu Ameng Layaran, seorang laki-laki yang sangat tampan, lebih tampan Di Banyak Catra, lebih tampan Di Silih Wangi, Malahan lebih tampan Di keponakan Putri. Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan, laki-laki Untuk dipeluk dan dibelai Di beranda, Untuk ditimang-timang Di ranjang, ditimbang Dari peraturan, Untuk dirangkul Di ruang tidur. Samping Itu ia bisa bahasa Jawa, mengetahui isi Di kitab-kitab, mengenal susunan Literatur-Literatur, mengetahui hukum dan nasihat-nasihat, mengenal sanghyang darma.)
Ajung Larang Sakean Kilat Bancana yang mendengar cerita si Jompong Larang itu menjadi berhasrat. Dia lalu menyiapkan sejumlah hadiah Untuk Diberikan Ke Pakancilan. Dia mengirimkan kain dan benda-benda mahal lainnya. Syukur Bujangga Manik mau Memperoleh. Jika diterima, nanti Ajung Larang Sakean Kilat Bancana sendiri yang Berencana datang Ke istana Pakancilan.
Sayang, Bujangga Manik yang telah dibujuk ibunda Untuk Memperoleh lamaran Di Ajung Larang itu pun tetap menolak. Dia tidak menikah. Dia Malahan memutuskan Untuk pergi lagi Di Pakancilan, yang hingga akhir naskah, Sesudah perjalanan puluhan tahun, tidak dikisahkan Ameng Layaran itu kembali Ke istana.
(yum/yum)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Jompong Larang, Mak Comblang Zaman Sunda Kuno