Nganjuk –
Kebiasaan Nyadran merupakan salah satu kearifan lokal Kelompok Jawa yang biasanya dilaksanakan menjelang bulan Ramadan. Kebiasaan ini sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas keberkahan yang telah dilimpahkan.
Kebiasaan ini terbentuk Di proses akulturasi Ditengah agama Islam dan Kearifan Lokal Dunia Jawa. Hingga Di ini, Kelompok masih memelihara Kebiasaan Nyadran, sebagai upaya menjaga warisan leluhur secara turun temurun dan rutin mengagendakannya setahun sekali.
Kebiasaan Nyadran atau yang biasanya juga dikenal Didalam Ruwahan, tidak hanya populer Di kalangan Kelompok Jawa Timur, melainkan juga Di Jawa Ditengah khususnya Di Lokasi-Lokasi seperti Banyumas, Lokasi Istimewa Yogyakarta, Boyolali, dan Temanggung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebiasaan ini dikenal Didalam nama dan makna yang berbeda-beda Di masing-masing Daerah. Dilansir Di laman resmi Kementerian Keuangan, Kebiasaan Nyadran Di Jawa Timur juga disebut sebagai manganan atau sedekah bumi.
Meski digelar Didalam rangkaian prosesi yang berbeda-beda, Kebiasaan Nyadran Memiliki keunikan tersendiri Di masing-masing Daerah. Seperti contohnya Kebiasaan Nyadran Di Nganjuk yang juga Memikat Sebagai dikulik. Kira-kira bagaimana Kelompok Nganjuk menjalankan Kebiasaan ini menjelang puasa? Simak penjelasan selengkapnya Di bawah ini.
Tentang Kebiasaan Nyadran
Menurut Wildan Novia (2023) Di jurnal yang berjudul “Nyadran: Bentuk Akulturasi Agama Didalam Kearifan Lokal Dunia Jawa” dijelaskan, Kebiasaan Nyadran telah hadir Dari abad Ke-15, Di mana Walisongo memadukan Kebiasaan Hindu dan Buddha Didalam dakwahnya Sebagai menyebarkan agama Islam.
Upaya ini awalnya dilakukan para wali Sebagai meluruskan pemahaman Kelompok tentang kepercayaan animisme. Tetapi, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, para wali Menerapkan Kebiasaan tersebut dan mengisinya Didalam ajaran Islam, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tahlil, dan doa.
Seiring Didalam berkembangnya zaman, Kebiasaan Nyadran dimanfaatkan Kelompok Jawa sebagai momen Sebagai mengirimkan doa-doa Sebagai kerabat atau leluhur yang sudah meninggal, serta bentuk ungkapan syukur kepada sang pencipta Sebelumnya menjalani ibadah puasa Di bulan Ramadan.
Dilansir Di laman resmi Kelurahan Bangunjiwo, Kabupaten Bantul, selain sebagai momen nyekar atau bersih makam, Kebiasaan Nyadran juga menjadi sarana pengingat diri bahwa semua manusia Di akhirnya Akansegera Berjuang Didalam kematian.
Juga menjadi momen melestarikan Kearifan Lokal Dunia gotong royong Didalam Menampilkan kembali suasana guyub Melewati kegiatan kembul bujono. Kebiasaan Nyadran umumnya dilaksanakan satu bulan Sebelumnya dimulainya puasa Ramadan, tepatnya Di tanggal 15, 20, dan 23 Ruwah.
Kebiasaan Nyadran Di Nganjuk
Nganjuk menjadi salah satu kabupaten yang ikut Melakukan Kebiasaan Nyadran secara rutin setiap tahun. Justru, tidak jarang wisatawan Di berbagai Lokasi turut mampir Ke Lokasi yang juga akrab Didalam sebutan Kota Angin ini Sebagai berpartisipasi dan mengikuti prosesi Nyadran.
Kebiasaan Nyadran Di Nganjuk biasanya diisi Didalam rangkaian pertunjukan Seni Kearifan Lokal dan Kearifan Lokal Dunia. Justru, salah satu desa Di Nganjuk, yaitu Desa Sonoageng dikenal sebagai desa yng menjalankan Kebiasaan Nyadran terlama dan terbesar Di Nganjuk.
Tak tanggung-tanggung, Kebiasaan ini digelar Di 20 hari. Didalam jumlah penduduk kurang lebih 10.000 jiwa, warga selalu antusias memeriahkan dan mengikuti semarak Kebiasaan Nyadran Di Desa Sonoageng.
Di Nganjuk sendiri, pelaksanaan Kebiasaan Nyadran berbeda-beda Di masing-masing desa. Seperti yang dijelaskan Syakur (2019) Di jurnal yang berjudul “Dakwah Inklusif-Inovatif Kelompok Kebiasaan Nyadran Di Desa Talang Rejoso Nganjuk”, setiap desa Di Nganjuk Memiliki keunikannya sendiri Di menjalankan Kebiasaan yang sakral ini.
Hal ini Lantaran perbedaan keyakinan Di leluhur yang dihormati, Supaya tidak jarang terdapat kaidah-kaidah tertentu Di Kebiasaan yang harus dipenuhi warga Sebagai menghindari bala. Misalnya, Kebiasaan Nyadran Di Desa Ngangkatan, jika tidak ada pertunjukan wayang golek, maka Akansegera banyak warga yang jatuh sakit atau kedatangan musibah.
Sambil Itu Di Desa Sambikerep dan Desa Banyu Urip, bila tidak dilaksanakan Peristiwa tayub dan wayang, maka dipercaya Akansegera mendatangkan bala. Atau Di Desa Ngadiboyo, yang jika tidak ada pagelaran wayang, maka Akansegera banyak arwah yang gentayangan.
Tetapi, ada juga desa yang tidak Memiliki banyak peraturan ketika menjalankan Kebiasaan Nyadran. Seperti Desa Talang Rejoso, yang mengawali perayaan Nyadran Dari momen 17 Agustus. Perayaan diwarnai Didalam berbagai macam lomba, bazaar, salawatan, karnaval, hingga jalan sehat.
Prosesi Kebiasaan Nyadran
Biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadan, Kebiasaan ini menjadi momen Bagi Kelompok Sebagai membersihkan makam, berdoa, serta mempererat hubungan sosial Melewati makan bersama. Walaupun setiap Lokasi Memiliki sedikit perbedaan Di pelaksanaannya, Di Umumnya Nyadran Memiliki beberapa tahapan sebagai berikut.
1. Besik (Pembersihan Makam)
Tahapan pertama Di Nyadran adalah besik, yaitu kegiatan membersihkan makam leluhur. Warga bersama-sama melakukan kerja bakti Sebagai menyingkirkan rerumputan liar, menyapu area pemakaman, dan merapikan batu nisan. Prosesi ini melambangkan penghormatan kepada leluhur serta menjaga kebersihan sebagai bentuk kepedulian.
2. Kirab (Arak-arakan)
Setelahnya makam bersih, Kelompok Akansegera melaksanakan kirab atau arak-arakan Ke lokasi utama pelaksanaan Nyadran. Biasanya, kirab dilakukan Didalam membawa berbagai sesaji atau Konsumsi yang Akansegera dibagikan Di ritual berikutnya. Kirab ini menjadi simbol kebersamaan dan penghormatan kepada Kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun.
3. Ujub (Penyampaian Maksud dan Tujuan)
Setelahnya tiba Di tempat Peristiwa, juru Kunci makam atau pemangku adat Akansegera menyampaikan ujub, yaitu maksud dan tujuan diselenggarakannya Nyadran. Ujub berisi harapan agar arwah para leluhur Merasakan tempat yang baik Di alam baka, serta doa Sebagai Kesejajaran Kelompok yang masih hidup.
4. Doa Bersama
Berikutnya, prosesi doa bersama dipimpin pemuka agama atau pemangku adat. Di doa ini, peserta memohon keberkahan, keselamatan, dan Kesejajaran Bagi seluruh anggota keluarga serta Kelompok. Di Itu, doa ini juga menjadi wujud rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki dan Kesejajaran.
5. Kembul Bujono (Makan Bersama)
Tahapan terakhir adalah kembul bujono, yaitu makan bersama Didalam hidangan yang telah dibawa masing-masing keluarga. Konsumsi dikumpulkan Di Ditengah, lalu didoakan terlebih dahulu Sebelumnya disantap bersama. Ritual ini melambangkan kebersamaan, kesederhanaan, dan rasa syukur.
Didalam rangkaian prosesi tersebut, Nyadran bukan hanya sekadar Kebiasaan, tetapi juga menjadi sarana mempererat hubungan sosial dan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal Di kehidupan bermasyarakat, terutama menjelang Ramadan.
Makna Kebiasaan Nyadran
Kebiasaan Nyadran bukan hanya sekadar ritual turun-temurun, tetapi Memiliki makna yang Di Bagi Kelompok Jawa. Di balik setiap prosesi yang dilakukan, terkandung nilai-nilai Kearifan Lokal Dunia, spiritualitas, dan sosial yang tetap relevan hingga Di ini.
Kebiasaan Nyadran tidak hanya menjadi identitas kearifan lokal Kelompok Jawa, melainkan warisan Kearifan Lokal Dunia yang sarat makna dan fungsi-fungsi sosial. Dikutip Di jurnal UIN Mahmud Yunus Batusangkar berjudul “Makna dan Fungsi Kearifan Kearifan Lokal Dunia Lokal Kebiasaan Nyadran Bagi Kelompok Sobowono”, berikut makna Nyadran.
1. Pelestarian Kebiasaan
Nyadran menjadi wujud nyata Di menjaga dan melestarikan Kearifan Lokal Dunia yang diwariskan leluhur. Melewati Kebiasaan ini, generasi muda diperkenalkan Didalam kearifan lokal yang telah dijaga Di bertahun-tahun. Didalam tetap menjalankan Nyadran, Kelompok tidak hanya mempertahankan warisan nenek moyang, tetapi memperkuat identitas Kearifan Lokal Dunia.
2. Ucapan Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
Selain sebagai penghormatan kepada leluhur, Nyadran juga berfungsi sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas segala berkah yang telah diberikan. Kelompok percaya bahwa Kesejajaran dan ketenteraman yang dirasakan adalah hasil Di doa dan usaha yang selalu disertai restu ilahi.
3. Keterlibatan Sosial dan Gotong Royong
Nyadran juga mempererat hubungan sosial antarwarga desa. Momen kembul bujono, Di mana Kelompok berkumpul dan makan bersama, menciptakan suasana kebersamaan yang erat. Di momen ini warga berinteraksi, Menampilkan suasana hangat, guyub, dan kompak, Supaya dapat mempererat tali silaturahmi.
Kebiasaan ini mengajarkan pentingnya gotong royong dan nilai kebersamaan Di kehidupan bermasyarakat. Didalam adanya Keterlibatan sosial yang harmonis, rasa persaudaraan antarwarga Lebih kuat, menciptakan lingkungan yang rukun dan damai.
(hil/irb)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Kebiasaan Nyadran Jelang Puasa Di Nganjuk, Ini Prosesi hingga Maknanya