Mataram –
Salah satu legenda yang terkenal Di Nusa Tenggara Barat (NTB) ialah legenda Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh. Legenda ini merupakan sebuah cerita rakyat yang mengandung pesan moral tentang kehidupan, ketulusan, dan pembalasan.
Legenda ini menceritakan tentang Ratna Ayu Wideradin yang merupakan putri bungsu Raja Indrapandita yang berkuasa Di Lombok. Ia difitnah Dari delapan kakaknya Sebab merasa iri Bersama Keindahan si bungsu.
Di Di Itu, Ratna juga Memiliki seekor monyet yang cerdik dan bisa bicara. Supaya kakak-kakaknya merasa iri dan ingin merampas monyet itu Bersama Ratna.
Mengutip Bersama laman Kebiasaan Global Indonesia, berikut cerita selengkapnya mengenai legenda Putri Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh, yang detikBali sajikan Untuk detikers.
Kisah Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh
Alkisah, Di Lombok, NTB, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin Dari Raja Indrapandita. Raja itu Memiliki sembilan putri yang cantik-cantik. Putri sulungnya bernama Denda Wingi, sedangkan si bungsu bernama Ratna Ayu Wideradin.
Bersama kesembilan putri raja tersebut, si bungsu lah yang paling cantik dan mempesona. Maka, tidak mengherankan jika si bungsu menjadi idola Untuk pemuda Bersama berbagai negeri.
Rupanya, Keindahan Ratna Ayu Wideradin membuat iri kedelapan kakaknya, terutama si sulung, Denda Wingit. Maka Itu, ia mengajak adik-adiknya yang lain Untuk menyingkirkan si bungsu.
“Si Bungsu harus kita singkirkan Bersama istana ini,” kata Denda Wingit, “Keberadaannya telah mengganggu Kedamaian kita semua. Setiap pangeran yang datang, Putri Bungsu yang selalu menjadi pilihan mereka.”
“Setuju, Kakak,” sahut putri yang ketiga, “Tapi, bagaimana cara kita mengusir si Bungsu Bersama istana ini?”
“Damai, adikku. Kita bilang saja kepada Ayahanda bahwa ia telah berbuat tidak senonoh Bersama pemuda kampung,” usul Denda Wingit.
“Apakah Ayahanda mau mempercayai kita?” tanya putri yang lainnya.
“Tidak usah khawatir,” ujar Denda Wingit, “Kita Akansegera membayar seorang pemuda kampung Untuk mengaku Di hadapan Ayahanda bahwa ia telah melakukan hal-hal yang tidak baik Bersama si Bungsu.”
Akhirnya, kedelapan putri raja tersebut bersepakat Untuk menghasut Ayahanda mereka. Keesokan harinya, seorang pemuda kampung yang sebenarnya telah dibayar Dari para putri itu datang menghadap raja.
Pemuda itu mengaku bahwa ia telah berbuat yang tidak senonoh Bersama Putri Ratna Ayu. Sang Raja langsung murka, dan memerintahkan agar si Bungsu segera dipanggil Untuk menghadapnya. Sambil putri-putri lainnya yang juga ada Di ruangan itu tampak saling memandang dan tersenyum senang.
“Cepat panggilkan Putri Bungsu Ke mari!” titah sang Raja.
“Baik, Ayah,” kata putri ketujuh. Tidak berapa lama Lalu, putri ketujuh itu kembali bersama si Bungsu.
“Dasar anak tidak tahu diri!” bentak sang Raja kepada putri bungsunya itu, “Kamu telah membuat malu kerajaan ini. Sebagai hukuman atas perbuatanmu, mulai Pada ini kamu tinggal Di gubuk yang ada Di Dibelakang lingkungan istana ini!”
Betapa terkejutnya si Bungsu mendengar titah itu. Ia benar-benar heran Di sang ayah yang tiba-tiba mengusirnya Bersama istana. Merasa tidak bersalah, ia pun Berusaha melakukan pembelaan Di hadapan ayahandanya.
“Apa salah Ananda? Kenapa Ayah tibatiba murka?” tanya si Bungsu.
“Ah, tidak usah banyak omong! Cepat keluar Bersama istana ini dan tinggallah Di gubuk itu!” tukas sang Raja. Sungguh malang nasib Putri Ratna Ayu. Putri Bungsu ini pun harus tinggal Di gubuk bambu Di halaman Dibelakang istana.
Di gubuk itu, ia hanya ditemani Dari seorang inang (pengasuh) yang bernama Rangda Sayoman. Walaupun berada Didekat istana, Tetapi tak seorang pun keluarganya yang peduli kepadanya. Busana yang dimiliki hanya yang melekat Di badannya. Makan pun seadanya.
Dari Sebab itulah, sang inang menjulukinya Bersama nama Winangsia, yaitu putri yang tersia-sia. Winangsia mengisi hari-harinya Bersama melukis dan menulis syair yang indah. Bakat itu sudah ia miliki Sebelum masih kecil.
Suatu hari, Winangsia melukis wajahnya Di sehelai Kertas. Lalu Di bawah lukisan itu, ia menuliskan syair tentang nasibnya yang merana. Syair itu sangat indah dan menyentuh hati siapa saja yang membacanya. Tetapi, ketika hendak menggulung Kertas itu, tiba-tiba angin kencang datang menerbangkannya.
Kertas itu terus melayang tinggi Ke angkasa Ke Pulau Jawa dan akhirnya tersangkut Di pohon yang ada Di Didekat kolam pemandian seorang pangeran yang bernama Raden Witarasari. Ia adalah putra sulung Raja Indrasekar, seorang penguasa Di sebuah kerajaan Di Jawa.
Raja Indrasekar ternyata bersaudara Bersama Raja Indrapandita, ayahanda Putri Ratna Ayu. Raden Witarasari mempunyai seorang adik laki-laki yang sakti bernama Raden Kitabmuncar. Keesokan paginya, Raden Witarasari hendak mandi Di kolam pemandiannya. Tiba-tiba pandangannya tertuju Di Kertas yang tersangkut Di atas pohon.
“Kertas apa itu? Siapa yang meletakkannya Di situ?” gumamnya. Sesudah Merasakan Kertas itu lebih Didekat, Raden Witarasari melihat sebuah lukisan wanita cantik Di dalamnya. Sebab penasaran, cepat-cepat ia Naik pohon lalu Membahas Kertas itu. Sesudah turun, ia terus memandangi lukisan itu tanpa berkedip sedikit pun.
“Cantik sekali gadis ini,” kata Raden Witarasari takjub. “Tapi, siapakah dia?” Raden Witarasari Lalu membaca syair-syair yang tertulis Di atas Kertas itu. Maka tahulah ia bahwa gadis itu adalah sepupunya.
Begitu ia menyelami isi syair itu Bersama bait Ke bait, tiba-tiba hatinya terenyuh dan sedih. Saking sedihnya, Raden Witarasari jatuh pingsan. Untung Raden Kitabmuncar datang menolongnya. Sesudah siuman, Raden Witarasari Menunjukkan lukisan itu kepada adiknya.
“Adikku, bacalah syair-syair Di Kertas ini,” kata Raden Witarasari. Raden Kitabmuncar pun tak kuasa menahan air matanya Pada membaca syair-syair itu.
“Kanda, kita harus segera menolongnya,” ujar Raden Kitabmuncar.
“Benar. Tapi sebaiknya hal ini kita beritahukan Ayahanda terlebih dahulu,” kata Raden Witarasari. Kedua pangeran itu pun segera menghadap sang Ayahanda. Raden Witarasari Lalu menceritakan isi syair itu sekaligus memohon izin pergi Ke Lombok Untuk menolong Winangsia.
“Baiklah. Segeralah kalian menolong saudara sepupumu yang malang itu,” kata sang Raja. Raden Witarasari Lalu meminta Pemberian adiknya yang sakti itu agar dibuatkan sebuah kapal dagang yang megah Bersama Produk Internasional dagangan yang indah. Untuk sekejap, tugas itu pun berhasil diselesaikan.
Keesokan harinya, kedua pangeran itu bertolak Ke Lombok. Raden Witarasari menyamar sebagai pedagang Bersama nama Jamal Malik. Sambil Raden Kitabmuncar berpura-pura sebagai pembantunya.
Setiba Di Pelabuhan Lombok, Raden Kitabmuncar segera meminta Pemberian syahbandar (kepala pelabuhan) Untuk melapor kepada raja bahwa ada kapal yang membawa Produk Internasional dagangan yang bagus-bagus Bersama harga murah. Syahbandar itu pun segera Ke Ke istana raja. Tak lama Lalu, syahbandar itu kembali bersama rombongan Raja Indrapandita yang datang bersama kedelapan putrinya. Jamal Malik pun menyambut mereka Bersama penuh hormat.
“Silahkan, Baginda! Barangkali ada Produk Internasional hamba yang cocok Bersama Baginda atau putri-putri Baginda,” sambut Jamal Malik. Raja Indrapandita pun membelikan Busana yang indah-indah Untuk kedelapan putrinya.
Sesudah rombongan Raja kembali Ke istana, ratusan penduduk berdesak-desak naik Ke kapal Untuk berbelanja Produk Internasional murah. Salah seorang Di antaranya adalah inang Randa Sayoman. Raden Kitabmuncar yang sakti itu tahu bahwa Rangda Sayoman adalah inangnya Winangsia. Maka, cepat-cepatlah ia memberitahu kakaknya. Raden Witarasari meminta agar dirinya diubah menjadi monyeh (monyet).
Sesudah itu, Raden Kitabmuncar segera menawarkan monyeh itu kepada inang Randa Sayoman. Monyet itu ajaib, bisa berbicara laksana manusia. Randa Sayoman pun tertarik membelinya Untuk diberikan kepada Winangsia.
“Berapa harga monyet ini, tuan?” tanta Randa Sayoman.
“Berapa pun uang yang Anda miliki, monyet ini boleh dibawa pulang,” ujar Raden Kitab Muncar. Inang Rangda pun menyerahkan uangnya, lalu membawa pulang monyet itu Untuk diberikan kepada Winangsia.
Alangkah senangnya hati Winangsia Sebab Memiliki monyet yang pandai bicara. Monyet itu juga cerdik, bisa melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Saking sayangnya kepada monyet itu, Winangsia selalu membawanya kemanapun pergi. Rupanya, kedelapan saudaranya kembali iri kepada Winangsia.
Maka, timbullah niat mereka ingin merebut monyet itu. Mereka Lalu menyusun siasat Bersama meminta ayahandanya agar menyuruh seluruh putrinya menari bersama sama Di pendapa. Tapi, syaratnya harus berpakaian bagus dan indah. Tentu saja Putri Winangsia tidak dapat memenuhi syarat itu Sebab tidak Memiliki Busana yang indah seperti kakak-kakaknya.
“Hai, Putri Bungsu. Jika kamu tidak ikut menari Bersama Busana yang indah, maka kamu Akansegera celaka dan monyet itu Akansegera menjadi milik kami,” ancam putri sulung. Putri bungsu yang malang itu pun hanya bisa pasrah.
Malam harinya, monyet penjelmaan Raden Witasari itu diam-diam pergi Ke kapalnya. Ia Membahas Busana tari dan segala perlengkapannya Untuk Winangsia. Sebelumnya pergi, ia menanggalkan Busana monyetnya Di Didekat gubuk Winangsia.
Malam itu, Putri Winangsia belum tidur Sebab sulit memejamkan matanya. Ketika berjalan keluar gubuknya, ia menemukan Busana monyet milik Raden Witasari. Busana itu langsung dibakarnya Sebab dikiranya sampah.
Tak lama Lalu, Raden Witasari pun kembali, tapi ia tidak menemukan Busana monyetnya. Akhirnya, penyamarannya pun ketahuan Dari Winangsia. Terpaksa Bersama jujur ia menceritakan perihal dirinya dan Menyediakan Busana tari itu kepada Winangsia.
Putri bungsu itu pun amat senang Sebab ternyata monyet itu adalah sepupunya yang ingin menolongnya. Keesokan harinya, Peristiwa menari bersama Di pendopo pun dimulai. Kedelapan kakaknya terlihat sudah menunggu Bersama mengenakan pakain tari yang indah. Tetapi, betapa terkejutnya mereka Pada melihat Winangsia berjalan Ke Ke pendopo bersama seorang pemuda tampan.
Adik bungsu mereka itu tampak begitu cantik dan anggun Bersama Busana tarinya. Pada menari, ia tampil Bersama penuh Self-Esteem dan sungguh menghibur para penonton, terutama sang Raja. Sesudah Peristiwa selesai, Raden Witarasari pun menceritakan semua perlakuan kedelapan putrinya Pada Putri Ratna Ayu Wideradin.
Mendengar laporan itu, sang Raja berbalik menghukum mereka Sebab telah memfitnah si Bungsu. Sambil Itu, Putri Ratna Ayu Wideradin akhirnya dilamar Dari Raden Witasari. Sesudah menikah, mereka pun berangkat Ke Jawa dan hidup berbahagia Di sana.
Adapun pesan moral yang bisa dijadikan pelajaran ialah orang yang bersifat iri hati seperti kedelapan putri Raja Indrapandita Di akhirnya Akansegera Merasakan balasan yang setimpal Bersama perbuatan mereka. Sebagai Gantinya Untuk orang yang teraniaya dan selalu sabar seperti Putri Ratna Ayu Wideradin Akansegera Merasakan kebahagian.
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Legenda Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh, Kisah Kakak yang Iri Di Adiknya