Bandung –
Orang Sunda punya bahasa sendiri Untuk menandai Lailatul Qadar, malam istimewa yang terjadi Di sepuluh hari terakhir Di bulan Ramadan. Mereka menyebutnya ‘Mamaleman’ atau ‘Malem Lilikuran’.
Lailatul Qadar sendiri sesungguhnya adalah hal yang dirahasiakan Bersama Allah SWT kapan terjadinya. Akan Tetapi, beberapa keterangan menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi Di akhir Ramadan. Di akhir Ramadan, biasanya umat Islam menambah amal ibadah selain puasa dan salat wajib Bersama i’tikaf. Beri’tikaf berarti berdiam Di masjid Untuk mengerjakan ibadah.
Rasulullah SAW mengajarkan i’tikaf Di sepuluh hari terakhir Ramadan. Perbuatan ini Lalu dilanjutkan Bersama istri-istrinya Setelahnya Rasulullah Muhammad SAW wafat. Orang Sunda menyebut sepuluh malam terakhir ini Bersama sebutan ‘Mamaleman’ atau ‘Malem Lilikuran’. Apa maknanya dan apa saja yang dilakukan orang Sunda Di waktu-waktu tersebut? Simak artikel ini yuk!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengertian Lailatul Qadar
Malam Qadar menjadi malam yang istimewa sebagaimana diinformasikan Di Di Al-Quran. Kitab suci ini Malahan punya surat tersendiri bernama Surat Al-Qadr. Mengutip Syaikh Abdullah Al-Jarullah Di Literatur ‘Menghidupkan 10 Malam Terakhir Ramadhan’, Lailatul Qadar adalah waktu ditetapkannya segala ketetapan seperti ajal dan rezeki.
“Malam itu dinamakan Lailatul Qadar Lantaran keagungan nilainya dan keutamaannya Di sisi Allah Ta ‘ala. Juga, Lantaran Di Pada itu ditentukan ajal, rizki, dan lainnya Pada satu tahun, sebagaimana firman Allah: “Di malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Ad-Dukhaan: 4),” tulisnya.
Di Malam Qadar juga diturunkan Al-Quran. “Dan tahukah engkau apakah Lailatul Qadar itu? Yaitu malam yang lebih baik Bersama seribu bulan” (Q.S. Al-Qadr ayat 2-3).
Ada banyak keistimewaan Di malam tersebut. Allah melimpahkan keberkahan dan ampunan dosa Untuk siapapun yang menyambut dan mengagungkan malam tersebut. Waktu pasti Lailatul Qadar memang dirahasiakan, Akan Tetapi Nabi Muhammad SAW Memberi petunjuk tentang kemungkinan terjadinya Malam Qadar, yaitu Di sepuluh hari terakhir Ramadan.
Hadis yang diriwayatkan Bersama ‘Aisyah radhiyallahu anha, bahwasanya “Rasulullah sangat bersungguh-sungguh beribadah Di 10 hari terakhir (bulan Ramadan), melebihi kesungguhan beribadah Di selain (malam) tersebut.” (HR. Muslim).
Dalil Lailatul Qadar Di Malam Ganjil
Anggapan bahwa Lailatul Qadar terjadi Di malam-malam Bersama hitungan ganjil, disandarkan Di hadits Nabi Muhammad SAW. Dikutip Bersama detikHikmah, ada hadits yang merupakan perintah langsung Bersama Rasulullah SAW agar umat Islam mencari lailatul qadar Di malam ganjil.
Rasulullah SAW bersabda,
تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ
Artinya: “Carilah malam lailatul qadar Di (malam ganjil) Di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Di Shahih Bukhari juga terdapat riwayat yang menyebut bahwa Rasulullah SAW sempat Berencana memberitahukan kapan waktu malam lailatul qadar. Akan Tetapi, beliau mengurungkan niatnya.
Diriwayatkan Bersama Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW pergi Untuk menemui para sahabatnya Untuk mengabarkan tentang lailatul qadar, Berencana tetapi Di sana terdapat perselisihan Di dua orang muslim.
Rasulullah bersabda,
إِنِّيْ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فتلاحَى فُلَانٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Artinya: “Aku datang kemari Untuk mengabarkan tentang Lailatulqadar, tetapi si Fulan dan si Fulan berselisih, maka kabar itu (tanggal turunnya) pun telah diangkat, Bisa Jadi itu yang lebih baik Untuk kalian carilah ia (lailatul qadar) Di tanggal tujuh, sembilan, atau kelima (maksudnya Di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan).”
Sayyid Sabiq Di Kitab Fiqih Sunnah mengatakan, para ulama berbeda pendapat mengenai kapan waktu lailatul qadar. Sebagian Bersama mereka berpendapat bahwa lailatul qadar jatuh Di tanggal 21, 23, 25, atau 29.
Mamaleman atau Malem Lilikuran Di Sunda
Lilikuran berasal Bersama kata Likur. Yaitu, hitungan Di angka 20-30. ‘Salikur’ berarti 21, ‘Dua likur’ berarti 22, dan seterusnya. Kecuali hitungan 25, bisa disebut ‘Lima likur’ atau juga ‘Salawe’. Malem Lilikuran berarti situasi sudah memasuki malam penuh likuran, atau likur yang berulang-ulang. Akan Tetapi, agaknya Kelompok Sunda hanya menilai penting malam-malam yang hitungannya ganjil saja Di sepuluh malam terakhir Ramadan itu.
R. Akip Prawira Soeganda Di Literatur ‘Upacara Adat Di Pasundan’ (1982) menyebutkan bahwa orang Sunda biasanya mengistimewakan malam-malam ganjil Di sepuluh hari terakhir Ramadan.
“Di malam tanggal 21, 23, 25, 27 dan 29, Di tiap-tiap Rumah banyak orang memasang lampu dan bersedekah kueh-kueh, ada yang mengundang teman tetangga, atau hanya berkirim-kiriman saja. Kelima malam itu dikatakan “mamaleman”,” tulis R.Akip.
Kutipan tersebut memberi informasi bahwa Kelompok Sunda mengistimewakan malam qadar Bersama Memberi penerangan Di Rumah-Rumah dan bersedekah Bersama berkirim Minuman Ke teman dan tetangga. Ini Bisa Jadi dilakukan Di waktu petang. Dan Di waktu malam, sebagian orang tidak tidur hingga menjelang waktu sahur.
Akan Tetapi, yang Memikat adalah anggapan bahwa malaikat pembawa berkah dapat melewatkan orang-orang yang Di malam itu kerjaannya hanya tidur. Berbeda Bersama orang yang terjaga sepanjang malam, diharapkan malaikat pembawa berkah melimpahkan keberkahan kepadanya. Lihat Di kutipan Di bawah ini.
“Waktu mamaleman itu banyak orang yang tidak ticlur hingga pagi, sekurang-kurangnya hingga jauh malam sekali, maksudnya mudah-mudahan didatangi “Iailatulkadar”, sebab menurut anggapannya, malam itulah turunannya Malaikat Jibril yang membawa untung Untuk tiap manusia. Di waktu Malaikat itu turun, jika terlihat orangnya Lagi tidur, dilaluinya. Bersama sebab itulah banyak orang berjaga dan Di luar Rumah dipasangnya lampu,” tulis R. Akip.
(iqk/iqk)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Malem Lilikuran, Cara Kelompok Sunda Tandai Waktu Lailatul Qadar