Cirebon –
Ke Cirebon peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu dilaksanakan Di meriah, khususnya Ke keraton yang ada Ke Cirebon. Ke sana, ada banyak Kearifan Lokal yang dilaksanakan Pada bulan Maulid. Ke masa Hindia Belanda, meski Di masa penjajahan, peringatan Maulid tetap dilaksanakan Di meriah Ke Cirebon.
Meriahnya peringatan Maulid, diabadikan Di beberapa surat kabar Hindia Belanda yang terbit Ke masa itu. Di surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 15 April 1941 disebutkan, Komunitas Cirebon melaksanakan Grebeg Maulid Pada sepuluh hari. Pada sepuluh hari tersebut, Cirebon menjadi pusat perhatian, Lantaran banyak didatangi Dari umat Islam Di berbagai macam penjuru.
“Umat Islam datang Di berbagai penjuru, Justru Di Banten, Preanger (Parahyangan), Banyumas, Sebagai berziarah Ke Cirebon. Ziarah ini berkaitan Di keberadaan Makam Ke Cirebon, yakni Sunan Gunung Jati yang disebut sebagai nenek moyang keluarga Sultan Cheribon,” tulis Batavia Nieuwsblad edisi 15 April 1941.
Makam Sunan Gunung Jati Lama, Arsip KITLV Foto: Istimewa
|
Sebagai memenuhi kebutuhan pengunjung yang datang dan berziarah Ke makam Sunan Gunung Jati, penyedia jasa transportasi melakukan penambahan armada dan jam waktu operasional. Di surat kabar Nederlandsch-Indië edisi 2 Oktober 1925, dipaparkan, Sebagai Kendaraan Angkutan Umum Bandung-Cirebon beroperasi Pada beberapa malam, stasiun kereta Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) juga menambah armada kereta Ke Cirebon, Justru banyak Kendaraan Pribadi sewaan Di berbagai macam kota datang Ke Cirebon.
“SCS menjalankan kereta tambahan Di Sindang Laut dan Prapatan Ke Cheribon. Disekitar 20 gerbong Barang Dagangan dilengkapi Sebagai lalu lintas penumpang. Banyak Kendaraan Pribadi sewaan Di Bandung, Tegal, Sumedang dan tempat lain ditempatkan Ke sini dan melayani angkutan penumpang Di Cirebon dan Gunungjati, tempat umat beriman berziarah Ke makam sultan,” tulis surat kabar Nederlandsch-Indië edisi 2 Oktober 1925.
Perayaan Maulid juga menjadi berkah tersendiri Untuk para sopir, pendapatan mereka naik drastis. Tetapi, polisi Hindia Belanda Di itu kekurangan personil, hal ini menyebabkan sering terjadi kecelakaan lalu lintas dan pencopetan Di perayaan Maulid berlangsung.
“Sebuah Kendaraan Pribadi ditabrak Di Dibelakang Dari pengemudinya, Agar menyebabkan Kendaraan Pribadi Merasakan kerusakan. Lanjutnya, datanglah seorang pengendara sepeda tertabrak Kendaraan Pribadi Lantaran kesalahannya sendiri. Pria tersebut Merasakan beberapa luka ringan, Tetapi tidak banyak yang tersisa Di sepedanya. Ke Kejaksan, seorang wanita tua ditabrak Dari seseorang. Untungnya, semuanya berakhir Di baik Ke sini,”tulis surat kabar Batavia nieuwsblad edisi 22 September 1926.
Selain Ke kompleks makam Sunan Gunung Jati, pusat perayaan Maulid ada Ke Alun-Alun Keraton Kanoman yang menjadi tempat diadakannya pasar malam. Ke Keraton Kanoman juga diadakan beberapa Kearifan Lokal Maulid, yang puncaknya ada Ke Kearifan Lokal Panjang Jimat. Kala itu, surat kabar De nieuwe vorstenlanden edisi 10 September 1927 menyebutkan, puluhan ribu Komunitas datang Ke Cirebon, Justru sampai berkemah Ke jalanan atau alun-alun hanya Sebagai mengikuti Kearifan Lokal Maulid.
“Perayaan Maulid Lagi berlangsung. Kemarin sore diperkirakan 10.000 orang tiba Ke Cheribon Di kereta api, belum Di jumlah yang tiba Ke Cheribon Di taksi, Kendaraan Angkutan Umum, dan alat transportasi lainnya. Hari ini dan besok adalah hari terpenting, dan kerumunan terbesar terjadi malam ini Ke Kanoman. Ke sana, Disekitar jam sembilan malam, Panjang Jimat dibawa secara arak-arakan Di keraton Ke masjid, dan kembali Ke keraton Disekitar jam setengah dua belas,” tulis surat kabar De nieuwe vorstenlanden edisi 10 September 1927.
Keraton Kanoman Tempo dulu, arsip KITLV Foto: Istimewa
|
Sebagai puncak Kearifan Lokal, para penduduk Akansegera berbaris rapi Ke jalan yang dilalui arak-arakan Panjang Jimat. Disebutkan, arak-arakan Panjang Jimat merupakan prosesi dimana benda pusaka, sesaji dan nasi jimat Ke arak dan dibawa keluar keraton. Meski panjang jimat menjadi tanda Akansegera berakhirnya prosesi Maulid, tetapi Sebagai pasar malam Ke Alun-Alun masih tetap dilanjutkan.
“Jimat ini dicuci Ke Grebeg Maulid dan Lalu dibawa Di prosesi Di istana sultan Ke masjid, tempat diadakannya selamatan. Nasi yang telah dikupas Di tangan Dari para wanita, dimasak Di kayu Di pohon suci Astana, Lalu dibagikan kepada mereka yang hadir,” tulis surat kabar Batavia edisi 28 September 1928.
Dari petani, beras panjang Jimat dipercaya dapat membawa Kejiwaan dan kemakmuran. Sebagai air bekas cucian panjang jimat, dipercaya juga Akansegera membawa hasil panen yang melimpah, serta berkhasiat sebagai Terapi Untuk yang sakit.
Biasanya, air panjang jimat Akansegera diteteskan Ke sawah atau dioleskan Ke Pada tubuh yang sakit. Sebagai memenuhi kebutuhan pengunjung, banyak Di mereka yang memasukan air panjang jimat Ke Di botol, lalu menjualnya. Konon, Di panjang Jimat juga hewan liar Ke Jawa Barat juga datang Ke Cirebon Sebagai melihat prosesi Panjang Jimat.
Tak hanya Ke masa Hindia Belanda, menurut pegiat sejarah Cirebon, Farihin, Kearifan Lokal Maulid sudah ada Sebelum zaman wali sanga. Menurutnya, peringatan Maulid Nabi menjadi Kearifan Lokal yang paling besar yang pernah diciptakan wali sanga.
“Kearifan Lokal yang paling besar yang diciptakan wali sanga, baik Ke Demak, Jogja, Solo ataupun Cirebon, sampai Sulawesi adalah Maulid Nabi, itu yang paling besar,” tutur Farihin belum lama ini.
Farihin memaparkan, lewat Kearifan Lokal Maulid, wali sanga menyebarkan Islam dan mengajarkan Komunitas Sebagai cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Khusus Ke Cirebon, perayaan Kearifan Lokal Maulid berupa Panjang Jimat. Menurutnya, Kearifan Lokal Panjang Jimat sudah dilaksanakan Sebelum era Pangeran Cakrabuana Disekitar tahun 1470 M.
“Panjang itu itu nama Piring, yang disebut Piring panjang, sedangkan jimat itu nasi yang Sebelum masih gabah dikupas satu-satu Di membaca selawat, Dari Sebab Itu yang dimaksud jimat bukan bendanya tapi nasi yang digunakannya. Sudah ada Sebelum era Pangeran Cakrabuana, “tutur Farihin.
Menurut Farihin, Kearifan Lokal Panjang Jimat menjadi simbol kecintaan Komunitas Pada Nabi Muhammad SAW. “Sambil kita mengharapkan syafaat yah kita harus berselawat. Dari Sebab Itu kecintaan kita Pada Kanjeng Nabi digambarkan Di Kearifan Lokal Panjang Jimat, atau yang lain menyebutnya Sekatenan, atau Pelalan,” pungkas Farihin.
(tey/tey)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Melihat Semarak Maulid Ke Cirebon Ke Masa Hindia Belanda