Mengenal Medunungan, Kebiasaan Warga Batur Bangli



Bangli

Letusan Gunung Batur seratus tahun lalu, tepatnya Di 2 Agustus 1926, membuat warga Desa Batur kuno direlokasi Hingga Desa Karanganyar yang kini disebut sebagai Desa Batur. Setelahnya peristiwa itu, warga Batur kerap kembali Hingga desa kuno mereka ketika ada pujawali. Mereka berdiam beberapa hari Di sana hingga lahir Kebiasaan medunungan.

Perbekel atau Kepala Desa (Kades) Batur Utara, I Wayan Tinggal, mengungkapkan Kebiasaan medunungan merupakan tinggal bersama yang dilakukan Kelompok Desa Batur Di suatu lokasi Bersama membuka tenda-tenda jelang Purnama Kasa yang menjadi perayaan pujawali Pura Jati.

“Kebiasaan medunungan dilakukan supaya lebih Didekat Hingga Pura Jati. Dahulu, jaraknya Bersama Desa Batur kuno Disekitar 5 km. Pasca mengungsi Hingga lokasi Mutakhir, kira-kira 13 km,” ujar Tinggal Pada dijumpai detikBali, Jumat (25/6/2025).


Kebiasaan medunungan dilakukan Di 3-4 hari. Akan Tetapi, Bersama tingginya antusiasme warga, tak jarang yang sudah medunungan Dari seminggu Sebelumnya Itu. Hingga kini, belum ditemukan catatan historis yang menjelaskan waktu persis Kebiasaan ini mulai dipraktekkan.

Selain medunungan, warga juga melakukan prosesi “Ngiring Ida Bhatara” Untuk Pura Ulun Danu Batur Di Pura Jati Untuk rangkaian pujawali. Mereka berjalan kaki sambil memikul pralingga dan benda sakral lainnya Di 3-4 jam. Benda-benda itulah yang berhasil diselamatkan Pada proses evakuasi letusan Gunung Batur.

Keunikan lainnya Untuk rangkaian pujawali ini terletak Di ‘atos’ dan ‘salaran’ yang merupakan persembahan hasil bumi. Atos berupa palawija seperti beras, kelapa, dan lainnya, Sambil Itu salaran berupa kurban kambing hitam.

“Pujawali menjadi momentum Berkata rasa syukur sekaligus menebus utang atas permohonan (mesesangi) seperti sembuh Untuk Penyakit, memperoleh pekerjaan yang dicita-citakan dan lain-lain. Kemarin, mencapai 350 orang yang melakukan,” cerita Tinggal.

Terpisah, anggota Lingkar Studi Batur, I Putu Sucita Maiva Utama, menuturkan medunungan dilakukan secara sederhana menggunakan bambu dan terpal, alat penerangan tradisional hingga hiburan yang terbatas berupa Alunan dan tari-tarian tradisional Untuk pura.

“Dulu butuh Disekitar 20 potong bambu Sebagai buat dunungan satu keluarga. Itu sudah cukup besar. Ukurannya paling 8×7 meter atau 10×15 meter. Lapaknya Akansegera Di situ terus Untuk waktu Hingga waktu,” kata Putu Maiva Pada ditemui detikBali, Sabtu (26/7/2025).

Kebiasaan medunungan mulai Merasakan perubahan Dari tahun 2000-an. Bangunannya sudah Untuk format semi permanen Bersama menggunakan batako, semen, dan seng. Listrik juga telah disediakan. Malahan, penjaja Konsumsi dan pasar malam Untuk luar turut menyemarakkannya.

Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Mengenal Medunungan, Kebiasaan Warga Batur Bangli