Pura Agung Gunung Raung termasuk salah satu pura tertua Di Pulau Dewata. Pura yang berlokasi Di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali, ini diperkirakan sudah berdiri Sebelum abad Di-17.
Keberadaan pura ini tidak terlepas Bersama kisah spiritual seorang rsi asal Jawa Timur, Maha Rsi Markandeya. Konon, Rsi Markandeya Merasakan petunjuk Bersama Gunung Raung, Jawa Timur, Untuk mendirikan tempat suci itu Pada melakukan perjalanan Di Bali.
“Rsi Markandeya pertama kali Di Bali bersama pengikutnya 800 orang, tapi gagal. Akhirnya, beliau kembali Di Gunung Raung dan bersemedi,” kisah Bendesa Adat Taro Kaja, I Nyoman Tunjung, Pada ditemui detikBali, Minggu (20/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tunjung menuturkan Sang Rsi Merasakan petunjuk yang memintanya membawa panca datu atau lima jenis logam Untuk sarana upacara Hindu Di sebuah hutan keramat. Singkat cerita, Rsi Markandeya Setelahnya Itu kembali Di Bali bersama 400 pengikutnya hingga tiba Di kaki Gunung Agung.
|
Patung Maha Rsi Markandeya Di Pura Agung Gunung Raung, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. (Foto: Ni Komang Ayu Leona W/detikBali)
|
“Di kaki Gunung Agung, beliau menanam panca datu itu dan lokasi itu Setelahnya Itu dinamai Pura Basukian,” imbuh Tunjung.
Syahdan, Sang Rsi melanjutkan perjalanannya Di arah barat. Konon, Tunjung berujar, Rsi Markandeya melihat sinar menjulang Di langit. Ia lantas meminta para pengikutnya menerabas hutan dan membangun tempat suci yang dinamai Pura Sabang Daat.
“Lalu, Rsi Markandeya Di selatan Di arah sinar itu (Desa Taro). Beliau lalu membuat pasraman dan mendirikan Pura Gunung Raung,” imbuhnya.
Tunjung mengatakan nama pura tersebut diambil Bersama gunung sekaligus tempat Rsi Markandeya berasal Di Jawa Timur. Sebelum tempat suci itu berdiri, Tunjung melanjutkan, warga Desa Taro menjalin hubungan baik Bersama komunitas Hindu Di Gunung Raung. Mereka juga kerap saling Melakukan Kunjungan Di satu sama lain Untuk melakukan persembahyangan.
Arsitektur Pura Agung Gunung Raung
Nuansa kuno langsung terasa begitu menjajaki anak tangga pemedalan (pintu masuk) Pura Agung Gunung Raung. Bangunan tiap pelinggih terbuat Bersama batu padas alami.
Uniknya, meski bangunan Pura Agung Gunung Raung menghadap Di timur, tapi umat dpat melakukan persembahyangan Di arah barat. Menurut Tunjung, hal itu didasari kedatangan Rsi Markandeya Bersama barat dan persembahyangan ditujukan Di arah Gunung Raung, Jawa Timur.
Kendati begitu, Tunjung berujar, tidak ada batasan arah sembahyang Di pura ini. Umat juga tetap bisa menyesuaikan arah masing-masing pelinggih yang berbeda-beda.
Tata letak pelinggih Di pura ini berbeda Bersama pura lainnya Di Bali. Termasuk juga ketiadaan Konsep Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala selayaknya pura Di umumnya Di Bali. Semua kawasan Di Pura Agung Gunung Raung Dikatakan setara dan disebut Utama Mandala.
Bangunan Bale Panjang Di Pura Agung Gunung Raung, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. (Foto: Ni Komang Ayu Leona W/detikBali) |
Di Itu, terdapat pula bangunan bernama Titi Gonggang Di Di pemedalan pura. Pemedek yang hendak bersembahyang diwajibkan melewati Titi Gonggang Sebelumnya melakukan persembahyangan.
Warga percaya Titi Gonggang mampu mendeteksi niat seseorang. Apabila niat hatinya buruk, maka ia bisa bernasib celaka.
Bangun Sistem Irigasi dan Desa Adat
Menurut Tunjung, Rsi Markandeya juga membangun sistem irigasi dan sistem desa adat Di Bali. Salah satunya ditunjukkan Bersama keberadaan Balai Agung, sebuah balai panjang yang berada Di Ditengah-Ditengah pura.
“Kalau ada purnama, Di sana melakukan pesangkepan (musyawarah). Umat yang sudah potong gigi (upacara memasuki usia dewasa), boleh naik Di atas. Kalau belum, duduknya Di bawah. Dilakukan bersama bendesa, Menyoroti kegiatan yang berjalan,” tutur Tunjung.
Hingga sekarang, kegiatan desa adat seperti musyawarah dan gotong royong tetap berlangsung. Balai kulkul Di area pura itu digunakan Untuk memanggil warga berkumpul.
Salah satu balai kulkul Di Pura Agung Gunung Raung, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali. (Foto: Ni Komang Ayu Leona W/detikBali) |
Ada dua balai kulkul Di Pura Gunung Raung. Pertama, balai kulkul Di Di pemedalan pura. Hanya saja, balainya berupa pohon yang menjulang tinggi Bersama tangga Di salah satu sisi. Menurut Tunjung, kulkul ini digunakan Untuk memanggil warga Untuk Kegiatan sehari-hari.
Kedua, balai kulkul yang berada Di Dibelakang Balai Agung. Kulkul ini bukan lagi terbuat Bersama bambu, melainkan batang pohon selegui berukuran raksasa dan dikelilingi bangunan batu padas beratap. Kulkul ini khusus dibunyikan Pada upacara besar seperti Upacara Bhatara Turun Kabeh.
“Itu pohon bunga selegui Bersama Jawa. Dulu pernah dipukul hingga getarannya sampai Mengwi dan Daerah Tabanan. Akhirnya, Di-pompong (dipangkas) supaya tidak begitu besar. Sebab itu, selegui Karena Itu dikutuk tidak boleh besar dan sekarang hanya merambat. Setelahnya Itu, batang itu dibawa Di sini,” ujar Tunjung.
Halaman 2 Bersama 3
Simak Video “Video: Menelusuri Pura Tertua Di Jantung Pulau Dewata“
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Pura Gunung Raung Taro dan Kisah Spiritual Dang Hyang Markandeya













