Bandung –
Sebelumnya akhirnya bisa dinikmati Di banyak pagelaran Bersama berbagai lakon atau cerita yang memuat setiap unsur kehidupan Di ini, wayang sendiri dulunya merupakan salah satu Karya Seni yang amat berkelindan sebagai media yang turut membantu proses penyebaran Di berbagai ajaran kepercayaan, termasuk penyebaran Agama Islam Di Nusantara.
Tak hanya sebatas menjadi media atau alat penyebaran kepercayaan, lebih jauh Di itu, kemunculan pertunjukan wayang sendiri mulanya adalah sebuah bentuk upacara yang dilakukan sebagai ajaran ritus pemujaan. Di Bacaan yang berjudul “Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya”, Ir Sri Mulyono selaku penulis menyampaikan bahwa asal mula pertunjukan wayang atau yang kala itu disebut pentas bayangan bersumber Di upacara pemujaan Di “Hyang” atau sosok yang dipercaya sebagai tuhan.
Jika merujuk Di perhitungan awal adanya pertunjukan wayang tersebut, terhitung Karya Seni ini telah muncul dan eksis Di zaman Neolitikum yang berkisar Di 3000 tahun yang lalu. Seiring berjalannya waktu, Karya Seni ini tentunya terus Merasakan perkembangan dan pembaharuan, baik Di segi bentuk rupa ataupun Di fungsi kegunaan dan cerita yang dibawa.
Kegunaan wayang sebagai alat dakwah Di penyebaran ajaran agama Islam Di Indonesia terjadi Di masa para wali. Wali Songo menggunakan Karya Seni wayang yang Di itu masih berupa wayang kulit sebagai media dakwahnya Ke Komunitas. Perlahan, selain menyebarnya ajaran agama Islam sebagaimana yang dimaksudkan, hal tersebut juga turut membantu penyebaran Karya Seni wayang Di kalangan Komunitas luas.
Silsilah garis keturunan Di Ki Darman selaku orang yang pertama kali membawa Karya Seni wayang Ke Area Jawa Barat. Padepokan Bayu Suta, Desa Cinunuk, Kamis (24/10/2024). Foto: Muhammad Jadid Alfadlin
|
Wayang Di Jawa Barat
Masuknya Karya Seni wayang Ke Area Jawa Barat atau tatar sunda Di umumnya pun tak lepas Di campur tangan para wali dan penyebaran agama Islam. Wayang yang Di itu masih berupa wayang kulit dibawa Ke tatar sunda Bersama seorang Ki Darman Bersama maksud sebagai perpanjangan tangan Di dakwah yang ia dapatkan dan lakukan Di tempat asalnya Di Kota Tegal, Jawa Di.
Hal ini pun diungkapkan Bersama Lili Suparli yang merupakan Dosen Di Institut Karya Seni Kekayaan Budaya Dunia Indonesia (ISBI) yang juga Memperoleh fokus Di bidang kajian sejarah dan Karya Seni wayang. Pria yang Di ini berusia 55 tahun tersebut menyebutkan bahwa penyebaran konsepsi kebudayaan pun bisa dilakukan Bersama berbagai cara, tak terkecuali Bersama Melewati perdagangan dan penyebaran kepercayaan.
“Awalnya Di Bandung, yaitu Area Ujung Berung, Justru makam Di Aki Darman nya sendiri itu masih ada terpelihara Di sana. Secara prinsip kan Jawa Barat itu pusat pemerintahannya Di Bandung, Bersama Sebab Itu zaman Bupati R.A. Wiranatakusumah II itu ya (wayang Di Jawa Barat) itu mulainya Di sana,” Ungkap Lili menjelaskan Di salah satu ruangan yang terletak Di ISBI.
Di apa yang diungkapkan Bersama Lili, dimana disebutkan bahwa munculnya Karya Seni tersebut dimulai ketika masa jabatan Bupati Ke-6 Bandung, yakni R.A. Wiranatakusumah II. Maka, dapat terhitung penyebaran Karya Seni wayang Di Jawa Barat sendiri mulanya berkisar Di Disekitar rentang tahun 1794 hingga 1829 Masehi.
Didin Suhendar yang merupakan dalang Di keturunan Ki Darman, sekaligus pendiri Di Padepokan Bayu Suta Di Cinunuk. Kamis (24/10/2024). Foto: Muhammad Jadid Alfadlin
|
Hal senada juga diungkapkan Didin Suhendar atau yang kerap juga disapa sebagai Dalang Didin. Ia merupakan generasi keempat Di garis keturunan Ki Darman selaku pembawa Karya Seni wayang pertama kali Ke Jawa Barat. Didin meneruskan trah Di leluhurnya yang juga Memperoleh minat dan Kemahiran Di Karya Seni wayang, khususnya sebagai dalang. Hal ini juga ditunjukan Bersama didirikannya Padepokan Karya Seni Bayu Suta yang ia inisiasi langsung Di tanah kelahirannya, Di Cinunuk, Ujung Berung, Kota Bandung.
“Di dulunya, kan sejarah persebaran Islam Di Jawa Di. Di situ yang diutus Ke Jawa Barat yaitu Ki Darman itu. Bersama Sebab Itu, tetap sih tujuannya itu tadinya Sebagai menyebarkan ajaran Islam yang datang Ke sini. Kebetulan, Ki Darman sendiri datangnya Ke Cinunuk ini, Justru makamnya juga kan ada, situsnya juga ada,” ungkap Didin ketika ditemui langsung Di padepokannya Di Cinunuk.
Diakui Bersama Didin pula, tak cukup mudah menelusuri garis keturunan atau silsilah keturunan Ki Darman hingga akhirnya dapat jelas seperti yang telah ia temukan. Setidaknya, ia bersama beberapa orang lainnya memerlukan waktu Disekitar 3 bulan guna melakukan observasi sejarah termasuk bertanya kepada para sesepuh hingga akhirnya bisa menyusun secara lengkap peta silsilah garis keturunan Ki Darman yang telah diakui dan diverifikasi secara legal.
Seiring Bersama berjalannya waktu, orang-orang Di garis keturunan ini bersama para pelaku dan peminatnya lah yang turut menyebarkan Karya Seni wayang Ke berbagai tempat Di banyak Kota dan pelosok Di Jawa Barat. Karya Seni wayang terus dibawa Di satu masa Ke masa lainnya, serta terus dikembangkan Bersama berbagai Imajinasi Bersama maksud agar tetap relevan Di perkembangan zaman.
Rupa tokoh wayang golek Petruk yang ada Di Jawa Barat terpampang Di Padepokan Bayu Suta, Desa Cinunuk. Kamis (24/10/2024). Foto: Muhammad Jadid Alfadlin
|
Munculnya Wayang Golek Di Jawa Barat
Seperti apa yang telah dijelaskan Sebelumnya, Di awal persebarannya Di Jawa Barat, Karya Seni wayang yang dibawa Ke tatar sunda merupakan Karya Seni wayang kulit yang sama yang telah tersebar Di Area Jawa Di Sebelumnya. Bersama bentuknya yang tipis dan cara penyajian pertunjukannya yang mengandalkan bayangan Di wayang, pertunjukan Di Karya Seni ini hanya Akansegera efektif jika dilakukan Di malam hari, sebab Di waktu tersebut sinar langsung cahaya matahari tak lagi ada, Agar bayangan wayang yang tersorot Bersama lampu pun dapat terlihat secara lebih jelas.
Berangkat Di hal tersebut, R.A Wiranatakusumah II yang Di itu masih menjabat sebagai bupati Setelahnya Itu meminta Ki Darman Sebagai melakukan perubahan atau membuat wayang yang dimaksudkan agar bisa melakukan pertunjukan Di siang hari. Atas permintaan tersebut, Ki Darman pun akhirnya mencoba membuat wayang Bersama berbahan kayu, Tetapi masih Bersama bentuk yang menyerupai wayang kulit. Wayang tersebut kerap Bersama beberapa orang disebut sebagai wayang pipih, Sebab bentuknya yang lebih tebal Di wayang kulit dan berbahan dasar kayu.
Setelahnya Itu, secara perlahan, wayang pipih ini pun Merasakan perkembangan Di waktu Ke waktu. Beberapa perubahan bentuk dan Konsep rupa diterapkan hingga akhirnya dapat berbentuk dan disebut sebagai wayang golek seperti Di ini.
“Selain Di tata rupanya, perbedaan Di wayang golek dan wayang lainnya juga menyangkut persoalan tata karawitannya, tata musiknya, tarian-tariannya, Setelahnya Itu nyanyian-nyanyian dalangnya itu sendiri. Terus ada juga persoalan-persoalan lain, yang jelas itu tata bahasanya, secara identitas jelas dibandingkan Bersama wayang-wayang lainnya, wayang golek ini tentu persoalan yang berkaitan Bersama aspek Karya Seni Kekayaan Budaya Dunia Area.” jelas Lili sembari terus menghisap rokok yang digenggamnya.
Wayang golek, khususnya Di tatar sunda, berkembang tak hanya Di bentuk rupa atau penyajian pertunjukannya. Melainkan, juga Di cerita atau disebut sebagai lakon yang coba disampaikan Bersama si dalang itu sendiri. Lakon-lakon tersebut mencoba Menyita dan melempar balik cerita-cerita Di kehidupan Komunitas Area yang dicerminkan Di jagat wayang yang berlangsung.
Salah satu tokoh wayang yang sangat identik Bersama Jawa Barat ialah tokoh bernama Cepot ciptaan Dalang Asep Sunandar Sunarya. Bersama tampaknya yang berwajah merah, Cepot digambarkan sebagai tokoh yang menyimpan amarah Di Di dirinya, Cepot pula terkenal Bersama celetukan-celetukannya yang lucu.
Khanha salah seorang dalang muda Bersama garis keturunan Di Ade Kosasih Sunarya, menunjukan keterampilannya Di memainkan wayang Di kediamannya Di Desa Jelekong. Sabtu (26/10/2024). Foto: Muhammad Jadid Alfadlin
|
Garis Keturunan Pelestari Wayang
Asep Sunandar Sunarya memang sudah cukup terkenal sebagai salah satu dalang yang diakui kepiawaiannya Di menghidupkan jagat wayang Di atas panggung. Ia merupakan anak Di seorang maestro dalang bernama Abeng Sunarya atau lebih kerap disapa sebagai Abah Sunarya.
Di Abah Sunarya inilah Setelahnya Itu garis keturunan pelestari Karya Seni wayang, khususnya para dalang Bersama derasnya darah bakat Karya Seni bermunculan. Setelahnya Datang Ke darah Asep Sunandar Sunarya sebagai anaknya, darah ini pula turut Datang Di cucunya yakni Dadan Sunandar Sunarya. Lebih luas, tak hanya sebatas Di satu garis keturunan langsung, Kemahiran serta minat Di Karya Seni wayang golek ini menyebar secara masif Di tempat asal mereka yakni Di Desa Jelekong, Kabupaten Bandung.
Tak sedikit para pelaku Karya Seni wayang yang berasal Di Jelekong, mulai Di dalang, sinden, para Olahragawan alat music tradisional sunda ataupun hingga para pengrajin wayang sendiri. Di Itu, banyak pula orang-orang yang sengaja datang Ke tempat yang dulunya Memperoleh nama Giriharja ini. Orang-orang tersebut sengaja datang Sebagai dapat belajar dan memahami Karya Seni wayang secara lebih Di Di Desa Jelekong.
Disampaikan Bersama Irwansyah yang juga merupakan salah satu keturunan dalang Di garis keturunan Ade Kosasih Sunarya, kakak Di Asep Sunandar Sunarya. Karya Seni wayang golek telah berkembang dan dikembangkan Di Desa Jelekong Di Dari waktu yang cukup lama serta melintasi beberapa generasi.
Disampaikannya, mulanya cikal bakal pelestarian dan pembuatan wayang Di Desa Jelekong dimulai Di empat orang keluarga yang asli Di Area tersebut. Nama-nama mereka Di lain Abah Abeng Sunarya, Ade Kosasih Sunarya, Asep Sunandar Sunarya serta Pak Ugan. Keempat orang tersebut lah yang menjadi tujuan Di banyak orang yang datang secara langsung Ke Desa Jelekong.
“Setelahnya Itu banyak orang yang berguru bikin wayang. Semua Di sini. Ketika ini yang empat (orang) gak ada, otomatis kan yang berguru tadi Sebab domisilinya bukan Di sini, mereka pindah mencar, Agar membawanya Ke Area masing-masing,” ungkap Irwansyah ketika ditemui Di kediamannya yang terletak Di Desa Jelekong.
Era beredar dan dibuatnya wayang Di Desa Jelekong sendiri dimulai Dari tahun 1900-an, Berjalannya Karya Seni wayang Di Desa Jelekong Di waktu yang tak sebentar menjadi bukti bahwa desa tersebut terus mencoba melakukan upaya Di menjaga dan melestarikan Karya Seni wayang ini agar kelak tak hilang dan punah begitu saja.
Lebih Jelas, ia pun menjelaskan mengenai nama Di Giri Harja sendiri yang Di ini cukup lazim ditemui sebagai nama padepokan-padepokan yang kerap Melakukan pagelaran pertunjukan wayang Di berbagai tempat yang berbeda.
“Kaitannya Bersama nama Giri Harja kan awalnya itu nama kampung, terus diadopsi menjadi nama lingkung Karya Seni, ada Giri Harja I, Giri Harja II dan seterusnya, termasuk juga Pusaka Giri Harja,” tutut Irwansyah menjelaskan.
Perbedaan penamaan tersebut pun didasarkan Di kapan penamaan tersebut muncul. Misalkan penamaan Giri Harja I merupakan kepunyaan Di adik Abah Sunarya yang muncul lebih dulu daripada penamaan Giri Harja II yang dicetuskan Bersama Ade Kosasih Sunarya dan terus sebagainya. Setelahnya Itu, Setelahnya para pencetus tersebut tidak ada, penamaan tersebut dilanjutkan Bersama anak-anak Di maestro tersebut, Tetapi Bersama penambahan kata “Putra” dan “Putu” Sebagai keturunan Lanjutnya.
(tya/tey)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Jejak dan Perjalanan yang Tak Terputus