Bandung –
Selain dikenal ramah, ternyata orang Sunda juga sering usil. Ke Di keusilan anak-anak Ke Sunda zaman baheula adalah mengerjai binatang. Tak tanggung, yang dijadikan bahan usil adalah binatang besar seperti kerbau. Kerbau dibiarkan supaya ‘gila’ dan anak-anak yang telah lebih dulu Merangkak Di atas pohon, bisa menikmati amukan itu.
Keusilan jenis ini memang berbahaya, perlu tingkat kenakalan yang ekstra Untuk seorang anak bisa berbuat seperti ini Pada kerbau. Sebab dampaknya, kerbau bisa mengamuk dan merusak, Malahan mencelakai orang yang berada Ke sekitarnya. Bagaimana caranya? Yaitu Bersama menggunakan gaang (anjing tanah).
‘Ngasupkeun Gaang Kana Ceuli Munding’
‘Ngasupkeun gaang kana ceuli munding’ berarti memasukkan serangga jenis anjing tanah Di Di telinga kerbau. Gaang, sebagaimana diketahui punya pencapit Ke kedua lengannya, hewan itu juga bersifat menerobos lubang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bayangkan, ketika telinga kita kemasukan semut, Akansegera terasa panas dan berdengung. Begitu juga telinga kerbau kemasukan gaang, kerbau Akansegera merasakan situasi tidak nyaman dan Akansegera mengamuk.
Keusilan ini umum ditemui Ke Kelompok Sunda baheula, Ke Pada kerbau-kerbau dan gaang masih mudah ditemui. Kini, kedua hewan itu jarang didapati kecuali Ke perkampungan-perkampungan.
Kerbau Untuk orang Sunda berfungsi sebagai hewan penarik bajak Ke sawah. Kerbau Bersama bajaknya Malahan tercantum sebagai salah satu nama waktu Di sehari Ke Sunda.
Ke Disekitar pukul 10.00 pagi, orang Sunda yang dahulu belum mengenal jam, menyebut waktu tersebut sebagai ‘Pecat Sawed’, yaitu ketika bajakan Ke punggung kerbau dilepaskan sebagai waktu istirahat bekerja, yang waktu bekerja sendiri Ke mulai Sebelum sangat pagi.
Sambil gaang adalah hewan yang sering dijumpai ketika sawah mulai digarap. Gaang juga hidup Didekat Bersama pemukiman warga, hewan itu berbunyi ketika malam hari.
Akan Tetapi, ketika gaang berbunyi dan ada suara langkah kaki mendekat atau melintas kepadanya orang berjalan kaki, gaang sering seketika diam Bersama bunyinya. Terbitlah peribahasa Untuk orang-orang yang tiba-tiba diam Bersama bicaranya yang nyerocos: Jiga gaang katincak (seperti anjing tanah terinjak).
‘Ngasupkeun Gaang Kana Ceuli Munding’ Di Sastra Sunda
Samsoedi (1899-1987) menulis cerita anak berjudul ‘Budak Teuneung’ (anak pemberani), pertama terbit tahun 1930, diterbitkan kembali Bersama Kiblat Literatur Utama (Ke sini dipakai edisi 2022).
Budak Teuneung berkisah tentang anak yatim bernama Si Warji, Ke dalamnya ada kisah anak badung melakukan keusilan Bersama memasukkan anjing tanah Di telinga kerbau.
Tersebutlah Si Warji berteman Bersama Adun, bocah gembala yang mengurusi kerbau Juragan Lurah. Suatu hari, dua anak nakal Si Utun dan Si Begu usil melihat kerbau yang Di digembalakan.
Si Begu bertugas mengalihkan perhatian Adun, Sambil Si Utun memasukkan gaang Di telinga kerbau. Mereka Lalu Berlarilah Di atas pohon meninggalkan Adun dan kerbau yang mengamuk.
“Na dikumahakeun munding téh ku silaing, Tun?” cék Si Begu.
“Diasupan gaang ceulina, geura moal lila deui ogé dangsa.” (halaman 28)
(“Kamu apakan kerbau itu Tun?” tanya Si Begu. “Dimasukkan gaang Di telinganya. Lihatlah, sebentar lagi dia menari”.)
Kerbau itu mengamuk, Sambil keduanya berada Ke atas pohon, Adun yang merasa bertanggung jawab atas kerbau itu tetap berada Ke sekitarnya, sampai akhirnya Adun terseruduk kerbau itu hingga pingsan.
Beruntung, Si Warji menemukan Adun dan segera membawanya Di Rumah juragan Lurah. Kabar terakhir Bersama cerita itu, Adun meninggal dunia.
(iqk/iqk)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: ‘Ngasupkeun Gaang Kana Ceuli Munding’