“Ngahaja melak Di dinya, para guriang…” demikian tembang yang digubah maestro karawitan Koko Koswara atau Mang Koko (1917-1985) tentang Gunung Guntur. Bahwa Di sana, ada kembang melati yang tanamannya sengaja ditanam Di para arwah penjaga gunung.
Gunung Guntur sendiri merupakan gunung api tipe stratovolcano. Menurut situs Perpustakaan Badan Geologi, gunung api Di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut itu telah beristirahat Pada 1,5 abad.
Siapa Maung Bungkeuleukan?
Akan Tetapi, sepanjang peristirahatannya Di Kegiatan vulkanik itu, misteri dan mitos tumbuh menyelimutinya. Di Di mitos yang berkembang Di benak Kelompok Di Disekitar gunung adalah adanya Maung Bungkeuleukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
‘Maung’ Untuk bahasa Sunda berarti harimau. Sambil Itu ‘bungkeuleukan’ diambil Di kata ‘bungkeuleuk’ yang berarti terlihat wujudnya. Yang semula tidak terlihat, sewaktu-waktu menjadi terlihat.
‘Bungkeuleuk’ diterapkan biasanya Di makhluk halus yang secara kebetulan menampakkan diri. Untuk kamus Sundadigi, ‘bungkeuleuk’ diartikan juga ‘jurig’ alias hantu.
Larangan Meniup Seruling Di Gunung Guntur
Gunung Guntur Foto: (Hakim Ghani/detikcom)
|
Kocap tercerita, jika memasuki kawasan Gunung Guntur (2.249 mdpl), seseorang dilarang membunyikan seruling. Sebabnya, meniup seruling dapat memicu Maung Bungkeuleukan Sebagai datang menghampiri.
Menurut Ening Maidah, seorang nenek penduduk Kampung Bojong Masta, Desa Pananjung, Kecamatan Tarogong Kaler yang pernah diajak berbincang Di detikcom, mitos Maung Bungkeuleukan itu memang cerita turun-temurun.
Ening mengatakan, mitos larangan meniup suling dan Maung Bungkeuleukan dikisahkan Di orang tua zaman dahulu kepada anak-anak mereka. Termasuk Ening juga Memperoleh cerita itu Di orang-orang tua.
Akan Tetapi, hingga kini, belum ada kesaksian orang yang pernah berjumpa langsung Di Maung Bungkeuleukan itu. Juga tidak diceritakan Berencana diapakan ‘korban’ jika bertemu Di hantu tersebut.
Mitos Seruling dan Situasi Politik Di/TII
Sepengetahuan Ening, mitos meniup seruling dapat mengundang Maung Bungkeuleukan berkaitan Di situasi politik ketika terjadi pemberontakan Di/TII Di Jawa Barat.
Jika ditelusuri waktunya, pemberontakan terjadi Disekitar tahun 1960-an. Orang-orang Di/TII memang bersembunyi Di hutan dan pegunungan. Karena Itu, hutan dan gunung Di Disekitar Garut, Majalaya, dan sejumlah Lokasi lainnya Di Jawa Barat menjadi Daerah pergerakan Di/TII.
“Gak boleh niup suling itu artinya gak boleh ribut. Dulu kan masih ada Di/TII Di sekitaran sini. Seingat emak, ABRI itu menyuruh diam Di warga Pada Menahan anggotanya Di/TII. Biar gak Di kabur,” katanya.
Maung Bungkeuleukan Tidak Tercatat Untuk Sejarah Gunung Guntur
Ketika seorang Eropa ‘kakarut’ (tergores) tangannya Di duri Pada bersama rombongan mencari lokasi Mutakhir Sebagai pemindahan ibu kota Di Daerah Suci, mereka tidak terceritakan takut Di Maung Bungkeuleukan. Mungkin Saja saja, mitos Maung Bungkeuleukan belum berkembang.
Hal ini senada Di pendapat sejarawan Garut, Warjita. Menurutnya sebagaimana dilansir detikcom, mitos Maung Bungkeuleukan hanyalah cerita yang beredar Di Kelompok dan tidak ada Untuk sejarah Gunung Guntur.
“Kalau maung bungkeuleukan saya Mutakhir dengar. Itu tidak ada Untuk sejarah Gunung Guntur tapi Mungkin Saja ceritanya beredar dan dipercayai Kelompok setempat,” katanya.
Warjita mengatakan, cerita maung bungkeuleukan tidak ada Untuk sejarah Gunung Guntur. Akan Tetapi, cerita tersebut merupakan cerita turun-temurun yang dikisahkan sesepuh setempat kepada anak-cucunya.
Harimau Gaib atau Tentara Gerilya?
Maung Bungkeuleukan, bisa saja dibaca sebagai bahasa simbol Di warga dan tentara Sebagai mewaspadai anggota kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (Di/TII) yang menguasai hutan dan bisa hidup gerilya seperti ‘harimau’. Orang-orang Di/TII Di hutan bisa saja tiba-tiba menampakkan diri Di hadapan rakyat.
Boleh diingat, bahwa Sebagai memberantas anggota Di/TII dan Menahan pemimpinnya, S.M. Kartosoewirjo Di Gunung Rakutak, Majalaya, Kelompok dilibatkan Sebagai berpatroli Di gunung-gunung.
Ketika itu dikenal istilah operasi ‘Pagar Betis’ yang merupakan akronim Di ‘Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam’. Orang Sunda yang salah dengar, salah mengucapkannya menjadi ‘Pager Bitis’ yang mengesankan seolah-olah warga memagari Daerah pergerakan Di/TII Di betisnya sendiri.
Halaman 2 Di 3
(iqk/iqk)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Maung Bungkeuleukan, Mitos Harimau Gaib Di Gunung Guntur Garut