Bandung –
Dalang memang tak pernah kehabisan cerita. Jika alur utama kitab pewayangan mentok Lantaran dirasa jemu, dia Berencana membuat cerita sempalan yang Ke ujungnya Berencana kembali Hingga alur cerita utama.
Cerita sempalan itu disebut “Carangan” Di istilah wayang Cirebon, sebagaimana dijelaskan Dari sastrawan kenamaan, Ajip Rosidi.
Hingga Ditengah cerita carangan itu adalah kisah Rikmadenda. Wayang ini mencari Tuhan, dan Lantaran para dewa, sekalipun setingkat Batara Guru alias Jaganata, alias Gurunata, alias Sanghyang Otipati tak bisa menjawab pertanyaannya, maka kahiangan dia obrak-abrik. Para dewanya dia kejar sampai berlarian menyelamatkan diri.
Ajip Rosidi (wafat Ke 2020) juga menulis cerita Rikmadenda ini. Judulnya, Rikmadenda Mencari Tuhan, terbit Ke 1991. Diakui Ajip, cerita yang dia buat merupakaan rekaan ulang Di cerita wayang yang sering dipentaskan dalang Abyor dalang yang gemar mengeritik Orde Terbaru Ke zamannya dahulu.
Dikutip Di situs Kemendikbud RI, dalang Abyor punya koleksi naskah ruwatan wayang Cirebon yang diduga dibuat abad Hingga-18. Isinya semacam propaganda para dalang Sebagai melawan kolonialisme Belanda.
Tetapi, Lantaran ketakutan Dari rezim, naskah yang dikoleksi dalang Abyor itu dibakar. Keturunan dalang Abyor, dalang Abi Udaya Lalu mengumpulkan kembali ingatan tentang ruwatan itu dan menuliskannya hingga terbit “Ruwatan Murwakala Cirebon”.
Rikmadenda Mencari Tuhan versi Ajip Rosidi
Di Literatur Ajip Rosidi, tokoh Rikmadenda naik Hingga kahiangan tempat para dewa. Lantaran jalan yang ditempuh penuh onak dan duri, bajunya Karena Itu rusak dan compang camping.
Sebagai anak raja, yakni Putra Prabu Mustakaluhur Di Kerajaan Girimustaka, Rikmadenda datang Hingga kahiangan Sebagai menanyakan siapa itu Tuhan dan bagaimana wujudnya?
Pertanyaan ini Dikatakan hal mustahil dan konyol Dari para dewa. Tetapi, Rikmadenda keukeuh ingin mengetahui siapa tuhan, sebab menurut informasi yang dia percaya, seseorang yang mengenal tuhan hanya namanya saja, masih dikategorikan kafir.
Tak ada dewa yang bisa menjawab, sampai dia berjumpa Di rajanya para dewa, Sanghyang Otipati alias Gurunata, alias Jagatnata, raja tiga alam (Triloka) yang punya istri Dewi Uma.
Jagatnata menjelaskan siapa itu tuhan, sampai Ke Kegagalan fatal Di penjelasannya yang membuat Rikmadenda mengamuk. Jagatnata menyebutkan bahwa dirinya adalah Tuhan itu.
Rikmadenda tidak terima, sebab menurut informasi, tuhan itu bukan laki-laki maupun perempuan, sedangkan Gurunata adalah laki-laki, Malahan punya istri. Maka menurut Rikmadenda, Gurunata bukanlah tuhan.
Rikmadenda lalu membuat kekacauan. Semua dewa dilawan, termasuk Otipati. Dia mengejar Otipati alias gurunata sampai Hingga manapun berlari. Dan ketika Otipati menghilang Di pandangannya, Rikmadenda berpikir bahwa Otipati Berlarilah Hingga Rumah orang tuanya, Sanghyang Tunggal. Sekalian jika Rikmadenda bertemu Sanghyang Tunggal, dia juga Berencana bertanya siapa itu tuhan?
Rikmadenda Ke Wayang Golek Bandung
Perusahaan rekaman, S Record merekam pementasan wayang berjudul “Rikmadenda” yang dibawakan dalang wayang golek senior, Dede Amung Sutarya (wafat Ke 2014). Pementasan ini dipirig Alunan Di sanggar Munggul Pawenang Bandung.
Rikmadenda yang dikisahkan Dede Amung Sutarya tidak jauh berbeda Di apa yang ditulis Ajip Rosidi Di Rikmadenda Mencari Tuhan, tetapi karakter yang disajikan Dede Amung Sutarya lebih bengal. Dikisahkan, Rikmadenda adalah anak raja yang Terbaru saja lulus berbagai macam Belajar dan menguasai ‘Ilmu Kadugalan’.
Ilmu itu Berencana berbahaya jika Rikmadenda diserahi tahta kerajaan. Maka, Sebelumnya benar-benar ‘hatinya tunduk’ dan tidak lagi merasa sombong Lantaran semua ilmu kadugalan dikuasai, dia tidak Berencana Merasakan tahta kerajaan.
Syarat utama dia Merasakan takhta kerajaan adalah menjawab dua pertanyaan: 1) Hingga manakah Mahakuasa?; 2) Bagaimana wujudnya?
Berikut ini adalah kisahnya, disarikan Di pementasan wayang Dari dalang Dede Amung Sutarya:
Rikmadenda, Anak Raja Bengal Mencari Tuhan
Kocap tercerita, Prabu Eling Rasa yang mengenakan Mahkota Binokasih memanggil anaknya, Rikmadenda Hingga Keraton Sirna Sampurna.
Alasan panggilan itu adalah pertama, Prabu Eling Rasa merasa kangen kepada anaknya yang telah lama pergi jauh Sebagai berguru mendalami beragam ilmu. Kedua, Lantaran Prabu ingin tahu ilmu apa saja yang telah dipelajarinya.
Yang tak kalah penting Di itu adalah yang ketiga, Prabu Eling Rasa sudah tua dan ingin melimpahkan takhtanya kepada Rikmadenda. Tidak perlu menunggu besok, Pada itupun Mahkotanya Berencana dia lepaskan dan diberikan Hingga Rikmadenda asal anaknya itu memang sudah cocok secara psikologis memimpin kerajaan.
Wooh! Rikmadenda yang sombong dan bengal Lantaran merasa sudah selesai mencari ilmu dan telah mengalahkan murid beserta guru-guru Di 77 perguruan Di pertentang siap bertakhta.
“Kalau ada rakyat yang melanggar saya Berencana bunuh, kalau saya ingin perempuan tapi orang tuanya tidak mengizinkan Berencana saya bunuh. Kalau ada istri orang saya inginkan tapi suaminya tidak mengizinkan Berencana saya bunuh!” kata Rikmadenda Hingga hadapan ayahnya.
Ayahnya merasa menyesal membiarkannya berguru Hingga banyak tempat Di liar Agar yang diraih anaknya bukan ilmu kesejatian, melainkan kadugalan, ilmu Sebagai berbuat kebengalan.
Tetapi, Di bijaksana ayahnya menjawab bahwa menjadi raja itu tidak cukup Di kadugalan. Raja harus bisa terbang.
“Apa? Cuman terbang? Lah saya bisa terbang,” jawab Rikmadenda sambil melayang-layang.
“Bukan terbang melayang seperti burung, tapi harus bisa membuat rakyat menjadi makmur,” jawab Prabu Eling Rasa, sambil menambahkan raja juga harus bisa Mubus Bumi atau menembus bumi.
“Lah, cuman menembus bumi. Ini saya bisa,” jawab Rikmadenda sambil menembus bumi. Tapi lagi-lagi kesaktiannya ditepis Prabu Eling Rasa.
Mubus Bumi, bukanlah menembus bumi secara harfiah, melainkan menembus kedalaman hati rakyat, merasakan senang dan deritanya, merasakan keluh dan gelisahnya, mendengar Di seksama apa harapan rakyat, baik rakyat elit maupun alit (kecil).
“Raja harus bisa napak sancang (berjalan Hingga muka air),” kata Prabu Eling Rasa.
“Lah, cuman berjalan Hingga atas air, nih saya bisa,” kata Rikmadenda sambil berjalan Hingga atas air.
“Bukan, bukan itu. Berjalan Hingga atas air maksudnya pemimpin bisa berpijak Ke semua golongan,” jawab Prabu Eling Rasa.
Rikmadenda tak menjawab, hingga Prabu Eling Rasa memberinya pertanyaan yang jika bisa Rikmadenda jawab, jangan menunggu besok, Pada itupun Mahkota Binokasih jatuh Hingga tangan Rikmadenda. Artinya dia bisa Karena Itu raja seketika itu.
“Kamu sudah melanglang buana mencari ilmu. Jawab saja dua pertanyaan ini. Hingga mana itu Mahakuasa (tuhan)? Seperti apa wujud Mahakuasa itu?” tanya Prabu Eling Rasa.
Rikmadenda hening. Ilmu yang dia anggap selesai proses pencariannya, ternyata tidak bisa menjawab dua pertanyaan sederhana itu. Hingga Ditengah kebingungan itu, Rikmadenda akhirnya menyerah dan menunggu titah Lanjutnya Di ayahnya.
Dia diharuskan mencari guru, apakah setingkat Begawan, Resi, Pandita, Wiku, Dewa, Malahan Sanghyang sebagai tempat bertanya dua pertanyaan itu. Rikmadenda lalu pergi melaksanakan titah itu.
Dia masuk Hingga hutan, dicabuti pohon-pohon barangkali Hingga bawahnya ada tuhan. Dia hancurkan batu-batu, barangkali Ke intinya ada Mahakuasa, tapi hutan hancur batu berantakan, dia tak menemukan tuhan. Sampai dia tersesat Hingga Padepokan Jatisampurna.
Hingga situ, dia bertemu Pandita Kakasih Jatirasa yang Di sombong dan bengal, Rikmadenda mengancam membunuh pandita itu jika tidak bisa menjawab pertanyaan yang dia cari jawabannya itu.
Pandita menjawab, jangankan soal ketuhanan, dia sendiri yang sehari-hari tinggal Hingga desa tidak tahu hal-hal sederhana seperti nama anak raja yang Lagi dihadapinya. Tapi, meski tidak bisa menjawab, dia bisa memberi petunjuk siapa yang bisa menjawab. Diberilah petunjuk bahwa Rikmadenda harus naik Hingga kahiangan Sebagai menanyakan itu kepada para dewa.
Dewa Hingga Suralaya atau kahiangan berang Di kehadiran “orang” Hingga tempat suci itu. Tetapi, Rikmadenda memaksa. Dan ketika ditanya maksud kedatangannya Sebagai mencari jawaban “Hingga manakah Mahakuasa? Seperti apa wujudnya?” taj satupun dewa menjawab.
Seperti kepada pandita tadi, Rikmadenda mengancam Berencana menyakiti para dewa jika tidak bisa menjawab. Dan Lantaran tidak ada yang menjawab, Rikmadenda mengatakan, Kedewaan adalah lembaga yang tidak perlu ada, maka Kedewaan harus dibubarkan. Rikmadenda melawan satu persatu para dewa dan semuanya kalah. Brahma, Batara Bayu, semuanya takluk.
Sampai dia bertemu Di Otipati alias Jagatnata alias Gurunata atau Batara Guru. Tetapi, Di penjelasan berbelit-belit yang akhirnya Otipati menyebutkan dirinya sebagai Mahakuasa atau Tuhan, Rikmadenda marah besar.
Tidak Mungkin Saja Mahakuasa itu lahir Di ibu dan bapak seperti Otipati yang punya ibu dan bapak. Lagipula, Otipati menjadi raja kahiangan Lantaran diposisikan Dari orang tuanya.
“Kalau begitu, Otipati itu bukan Mahakuasa tapi kekuasaan. Lantaran diadakan Dari Mahakuasa yang punya kuasa,” kata Rikmadenda sambil bersiap-siap mengejar Otipati yang kabur Di keponakannya, Kresna.
Dari Kresna dijelaskan Di pandangan ketuhanan menurut Islam, bahwa Tuhan itu laisa kamislihi syaiun (tidak ada yang semisal dengannya), dan wujudnya itu aqrabu min hablil warid (lebih Didekat ketimbang urat leher). Rikmadenda pun mulai paham.
(iqk/iqk)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Kisah Wayang Rikmadenda, Anak Raja Bengal Mencari Tuhan