Cimahi –
Wati Lagi duduk Ke pelataran Di rumahnya. Sore itu, dia Terbaru saja selesai memasak ragam hidangan yang bakal dibagi-bagikan Ke kerabat serta tetangganya.
Tak cuma seorang diri, Tetapi dibantu tetangganya yang lain. Dapurnya panas Dari nyala api yang tak berhenti Dari pagi. Uap yang mengepul Untuk wajan dan panggangan menerpa wajah-wajah perempuan yang sudah tak muda lagi.
Ke dapur Tempattinggal Wati yang cukup lega, sudah tersaji sejumlah menu Minuman yang selesai dimasak, ada kentang mustofa, oseng cabe gendot dan cabe hijau, semur daging, tumis kacang merah, tahu dan tempe goreng, sambal, serta kerupuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi ada yang spesial. Jika menu Minuman yang mirip Bersama menu Pada dibagikan Ke Peristiwa syukuran atau tahlilan itu disandingkan Bersama nasi Untuk beras, lain halnya Bersama yang disiapkan Wati. Ia menyuguhkan Minuman pokoknya berupa beras singkong atau rasi.
Ya, Wati merupakan warga asli Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Kampung tersebut terkenal Akansegera Kearifan Lokal masyarakatnya yang mengonsumsi beras singkong Dari tahun 1918 silam.
Menu Minuman yang dibuat warga Kampung Adat Cireundeu Untuk dibagikan Ke tetangga (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar).
|
Minuman yang sudah disiapkan Wati itu lalu dimasukkan Ke Untuk rantang alumunium. Setelahnya Itu diantarkan Dari seseorang yang ia tugasi sebagai ‘kurir’ Ke alamat tujuan yang cuma dipisahkan Tempattinggal satu Ke Tempattinggal lainnya.
“Karena Itu ini memang Kearifan Lokal Untuk dulu, harus dipertahankan sampai sekarang dan seterusnya,” kata Wati Pada ditemui, Kamis (17/7/2025).
Kearifan Lokal saling berkirim Minuman itu cuma dilakukan setahun sekali, tepatnya Ke bulan Muharram Setelahnya peringatan Malam 1 Sura. Kampung Adat Cireundeu sendiri rutin merayakan Malam 1 Sura Bersama berbagai upacara, puncaknya yakni Tutup Taun Ngemban Taun Saka Sunda.
Untuk Konsep kasundaan, pergantian tahun Terbaru masehi maupun Islam yang lazim dirayakan Dari orang-orang dikenal sebagai Tutup Taun Ngemban Taun. Tak sekadar perayaan, lebih Untuk Untuk itu, ada resolusi yang juga Dikatakan utang Ke tahun-tahun mendatang.
“Karena Itu istilahnya ini syukuran kami penghayat kepercayaan Setelahnya 1 Sura kemarin. Karena Itu memang biasanya Kearifan Lokal ini cuma Ke bulan Muharram aja,” kata Wati.
Persiapan sudah dilakukan Wati sejah tahun Sebelumnya Itu, terutama soal uang. Ia mesti Mengeluarkan modal lumayan besar menyambut 1 Muharram yang menjadi perayaan wajib Untuk warga Kampung Adat Cireundeu.
Misalnya ia Akansegera menyumbang uang minimal Rp1 juta Untuk penyelenggaraan pagelaran wayang golek Ke puncak perayaan 1 Sura. Belum biaya belanja bahan masakan Bersama jumlah jumbo.
“Minimal buat nyumbang wayang golek itu saya Rp1 juta. Belum belanja, kemarin beli daging itu Di 20 kilogram, kentang 15 kilogram, cabai 10 kilogram, belum bahan lainnya. Ya habisnya lumayan, tapi ini buat kami Karena Itu Kearifan Lokal dan kewajiban,” kata Wati.
Sebagai penghayat kepercayaan ia tak keberatan Bersama segala ritual itu. Sama halnya Bersama ritual Untuk perayaan hari besar agama lainnya. Disambut suka cita, amat ditunggu-tunggu.
“Ya ini bentuk ketaatan kami Ke Yang Maha Kuasa. Niatnya kan berbagi, Karena Itu enggak ada yang terbebani,” ujar Wati.
Perayaan 1 Muharram atau 1 Sura Ke Kampung Adat Cireundeu yang dikenal Bersama Tutup Taun Ngemban Taun Saka Sunda juga menjadi gambaran kerukunan para penghayat kepercayaan yang bermukim Ke Kampung Adat Cireundeu Bersama para penganut agama dan kepercayaan lainnya.
Kala perayaan, tokoh agama datang Untuk memanjatkan doa. Meminta keselamatan dan keberkahan Ke tahun-tahun mendatang. Dijauhkan Untuk bala dan kesedihan.
(mso/mso)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Kearifan Lokal Istimewa Ke Kampung Adat Cireundeu Usai Tutup Taun Ngemban Taun