Dongeng Lawas Si Kabayan dan Kiainya, Asal-usul Kata Doraka



Bandung

Dosa adalah nilai jelek yang diperoleh Bersama cara melanggar aturan agama. Di Untuk bahasa Sunda, kata dosa berpadanan Bersama ‘doraka’. Tetapi, Untuk dongeng Si Kabayan, doraka ditampilkan bukan semata-mata melanggar agama, melainkan sesuatu yang erat juga Bersama etika.

Lebih Bersama itu, doraka ditetapkan sebagai sebuah akronim Bersama: Beuteung kendor hayang nangka (perut kendur kepingin nangka). Fakta ini muncul Untuk dongeng lucu Si Kabayan dan Kiainya.

Dongeng ini dikutip Bersama ‘Uilespiegel-Verhalen in Indonesie, in het biezonder in de Soendalanden’ yang disusun Dari Lina Maria Coster Wijsman (1929). Judul asli dongeng ini, ‘Si Kabajan Djeung Kijaina’.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana seutuhnya dongeng lucu tersebut? Simak yuk!

Si Kabayan dan Kiainya

Kiai mengajak Si Kabayan Sebagai ikut bersamanya Berpartisipasi Untuk undangan. Ada yang hajatan sunatan. Si Kabayan mau saja mengiringi Kiainya. Keduanya lalu berjalan. Kiai Di Didepan, Si Kabayan Di belakangnya.

Dasar Kabayan, sesekali dia berjalan mendahului kiainya. Dari gurunya itu, Si Kabayan ditegur Sebagai tidak berjalan Di Didepan kiai, sebab itu adalah perbuatan doraka. Dosa. Perbuatan yang tidak ada etikanya.

Si Kabayan yang polos, Sebelumnya dia beringsut Di Di lagi, dia bertanya, apa yang dimaksud Bersama doraka? Kiainya, yang kebetulan Lagi berjalan kaki, tidak serius menjawab, apalagi Bersama mengucapkan dalil agama.

“Beuteung kendor hayang nangka,” kata Kiai. Si Kabayan lalu mundur dan berjalan mengiringi kiai Bersama Di, hingga mereka sampai Di area hajatan.

Di Rumah sahibul hajat, Kiai dan Si Kabayan duduk lalu disuguhi ‘rokok sirih dan kayu api’. Sambil menikmati suguhan itu, Si Kabayan yang matanya waspada melihat ada orang sesama undangan datang Di tempat itu.

Orang yang mau ‘nyambungan’ – istilah Sebagai menujukkan orang yang diundang lalu datang membawa bahan masakan atau apapun sebagai pemberian- itu membawa nangka.

Buah nangka selain rasanya manis, warnanya indah, juga membuat kenyang. Itu kudapan yang cocok Sebagai perut yang kendur. Bersama sigap, Si Kabayan berbicara tanpa sepengetahuan kiainya, apalagi izin darinya.

“Saudara-saudara, siapa amil Di sini? Coba suruh Di sini,” teriak Si Kabayan.

Sang Amil datang menghampiri Si Kabayan, lalu bertanya apa yang bisa dia perbuat. Si Kabayan lalu mulai memainkan kemampuannya bersilat lidah.

“Hei, Amil. Kamu telah berbuat doraka kepada kiai,”

“Doraka apa?”

“Kamu doraka sebab kurang waspada melihat situasi,”

“Apa yang harus saya waspada terhadapnya?”

“Tuh lihat, perut kiai doraka!”

“Mengapa bisa disebut doraka?” tanya Sang Amil.

“Kendor hayangeun nangka (kendur kepingin nangka)” kata Si Kabayan.

Penghulu amil pun lalu mengupas nangka tadi dan disuguhkan kepada Kiai dan Si Kabayan. Kiai pun memakannya. Si Kabayan jua. Keduanya kenyang Bersama buah yang manis itu.

Akan Tetapi, tidak lama seusai menyantap nangka, Kiai ingin buang air. Si Kabayan ikut pula mengiringkannya, Justru ikut berak juga. Kebiasaan orang-orang dahulu, berak dilakukan Di parit kecil Bersama air yang Masuk jauh.

Kiai buang air besar Di satu lokasi, Bersama kotoran yang nanti Masuk terbawa arus air. Si Kabayan, berak juga Di Didepan lokasi kiai, Supaya kotorannya tentu melewati lokasi Kiai. Kiainya jengkel lalu Mengeluarkan lagi jurus doraka.

Tjek kijaina: “Kabajan, doraka dija ngising girangeun aing”. Tjek si Kabajan: “dja kijai geh kudu diiringkeun koe kula, tai kijai geh kudu diiringkeun koe tai kula”. Tjek kijaina; “jakin, eleh aing Kabajan”

(Kata kiainya: “Kabayan, dosa kamu berak Di hulu parit Di Didepan saya”. Kata Si Kabayan: “Yah, bukannya kiai harus diiringi sama saya. Taik kiai juga harus diiringi sama taik saya”. Kata kiainya: “Yakin! Saya kalah sama kamu, Kabayan”). Demikian dongen ‘Si Kabayan dan Kiainya’ ditutup L.M. Coster Wijsman.

(tya/tey)

Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Dongeng Lawas Si Kabayan dan Kiainya, Asal-usul Kata Doraka