Jejak Berdarah Di Balik Sejarah Tari Ronggeng Gunung



Pangandaran

Di Kabupaten Pangandaran, terdapat sebuah Seni Kekayaan Budaya tradisional yaitu tari ronggeng gunung. Akan Tetapi, Di balik Seni Kekayaan Budaya yang memukau, ada sebuah kisah berdarah yang mengikat masa lalu Di Seni Kekayaan Budaya ini dan menjadi asal muasal Seni Kekayaan Budaya tersebut.

Kisah ini bermula Di masa Kerajaan Galuh. Seorang penguasa bernama Anggalarang mendirikan Kerajaan Pananjung Di pesisir selatan. Area yang kini dikenal sebagai Desa Pananjung, Di keindahan pantai barat, pantai timur, dan cagar alamnya, dulunya menjadi pusat kerajaan yang kaya Akansegera hasil laut.

Akan Tetapi, kedamaian itu tak bertahan lama. Para perompak, dipimpin Di Kalasamudra, datang menyerbu. Tanpa Lini Pertahanan yang kuat, kerajaan runtuh, dan Anggalarang gugur Di tangan musuh.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Istri Anggalarang, Dewi Samboja, berhasil melarikan diri Di perbukitan. Untuk pelariannya, dia bertemu Di Kelompok pegunungan yang Di melakukan ritual persembahan Sebagai Dewi Sri. Tarian tanpa iringan Bunyi, hanya suara nyanyian dan sajen yang menjadi saksi bisu. Dewi Samboja, Di kreativitasnya, menambahkan Bunyi Untuk tarian itu, dan seiring waktu, ia berubah menjadi seorang ronggeng yang kerap Melakukan pertunjukan Di berbagai tempat. Sebab asal mereka Di pegunungan, tarian ini akhirnya dikenal sebagai ronggeng gunung.

“Di Sebab Itu cikal bakal ronggeng gunung itu sebenarnya sebuah ritual persembahan. Bentuknya hanya tarian, nyanyian dan sesajen. Tanpa Bunyi,” kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Perjalanan Di Luarnegeri dan Kebudayaan Kabupaten Pangandaran yang kala itu dijabat Aceng Hasim, Kamis (9/1/2020).

Akan Tetapi, bukan hanya tarian yang berkembang kedalaman lirik-lirik sedih yang dilantunkan Dewi Samboja dan Lalu mengubah namanya menjadi Dewi Rengganis, menggambarkan luka dan kerinduan yang mendalam. Kesedihan ini perlahan berubah menjadi dendam, terutama Pada Kalasamudra, yang telah merenggut nyawa suaminya.

Di Kalasamudra kembali Di Pangandaran, Dewi Rengganis melihat ini sebagai kesempatan Sebagai membalaskan dendamnya. Untuk sebuah pertunjukan ronggeng gunung yang memukau, Dewi Rengganis dan penari pengiringnya menyusun Ide Membunuh Orang Lain.

Di Pisau terselip Di balik kain sarung, mereka menunggu Di yang tepat. Kalasamudra, yang terpesona Di tarian, tak Mengetahui jebakan yang telah dipersiapkan. Di Di riuh rendah pertunjukan, Dewi Rengganis dan para penari menghabisinya, menuntaskan dendam yang telah lama terpendam.

“Memang ada beberapa versi mengenai asal usul Seni Kekayaan Budaya ronggeng gunung. Tapi yang populer adalah kisah ini. Apalagi sejumlah peneliti dan tokoh Kearifan Lokal Global banyak yang sepakat Di versi tersebut,” kata Aceng.

Dia mengaku tak alergi Di Perdebatan mengenai kisah atau cerita rakyat mengenai sebuah Seni Kekayaan Budaya atau Kearifan Lokal Global. Perbedaan pendapat justru menimbulkan dinamika dan memperkaya kecintaan Pada Seni Kekayaan Budaya Kearifan Lokal Global tradisional.

“Ini kan cerita rakyat. Bukan sejarah yang harus merujuk kepada dimensi ruang, waktu, pelaku dan lainnya,” papar Aceng. Apalagi Kearifan Lokal Global Sunda itu mayoritas lahir Di Kearifan Lokal Global tutur atau cerita, bukan Kearifan Lokal Global tulisan seperti kerajaan lain Di tanah air.

Artikel ini telah tayang Di 2020 dan kembali ditulis ulang Di Regu detikJabar.

(iqk/iqk)

Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Jejak Berdarah Di Balik Sejarah Tari Ronggeng Gunung