Mataram –
Terdakwa Tindak Kejahatan pelecehan seksual, I Wayan Agus Suwartama atau IWAS, resmi menikah Bersama Ni Luh Nopianti. Sosok Agus digantikan Dari keris Untuk prosesi pernikahan adat tersebut.
Agus sendiri tidak hadir Untuk prosesi tersebut Lantaran masih berstatus sebagai tahanan Di Tempattinggal Tahanan (Rutan) Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Untuk Kebiasaan Hindu Di Bali, ‘Nganten Keris’ merupakan perkawinan yang dilakukan Dari seorang wanita Bersama sebilah keris. Perkawinan ini bisa dilakukan Bersama beberapa alasan.
Mengutip jurnal berjudul ‘Akibat Hukum Untuk Anak Yang Lahir Bersama Perkawinan Keris’ Universitas Warmadewa, Komunitas Hindu Di Bali beranggapan bahwa keris merupakan simbol purusa atau roh. Agar dapat dipergunakan Untuk menggantikan seorang laki-laki Untuk perkawinan keris.
Keris dapat dijadikan simbol purusa Untuk pelaksanaan perkawinan keris dikarenakan sebuah keris merupakan simbol kekuatan lingga (Kekuatan Sang Hyang Purusa), serta kalau dipandang Bersama sudut duniawi kata purusa menjadi kapurusan dan akhirnya sebagai pria (Sudarsana, 2008:48).
Nganten keris Dikatakan sah apabila telah sesuai Bersama prosesi perkawinan secara hukum adat dan kepercayaan agama Hindu.
Pernikahan keris ini terjadi Lantaran dua penyebab. Pertama Lantaran Kandidat mempelai pria menghamili Kandidat mempelai perempuan. Akan Tetapi, si pria tidak bersedia bertanggung jawab Bersama menikahi si perempuan.
Kedua, Lantaran Kandidat mempelai pria meninggal dunia menjelang prosesi perkawinan. Sedangkan perkawinan harus tetap terlaksana dan pihak wanita bersedia melakukan nganten keris.
Berdasarkan catatan detikBali, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Nyoman Kenak, menjelaskan Yang Berhubungan Bersama nganten keris.
“Saya sendiri pernah Berjuang Bersama situasi tersebut. Pengantin laki-laki bekerja Di luar negeri. Sedangkan perempuan Lagi hamil. Proses upacara tetap dijalankan, Akan Tetapi mempelai pria mengikuti secara online. Astungkara lancar,” ungkap Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Nyoman Kenak Pada diminta konfirmasi, Sabtu (18/11/2023).
Ia menjelaskan prosesi yang digelar Untuk situasi ini diawali mekala-kala. Upacara ini Untuk menghilangkan kekotoran batin. Agar tidak menimbulkan cemer atau kekotoran secara niskala Di sebuah desa.
Bersama cara ini, mempelai perempuan juga Menyambut kepastian hukum adat dan hukum positif.
“Kita harus memberi perlindungan kepada perempuan. Jangan sampai lagi ada diskriminasi, seperti menikahkan perempuan Bersama keris,” tegasnya.
Untuk situasi tertentu, lanjut Kenak, ada alternatif yang bisa ditempuh. Misalnya melakukan upacara adat dan agama Di tahap paling sederhana. Di ranah adat, hal ini tentu harus disepakati dulu Dari tetua, minimal Di lingkungan banjar.
“Kami waspadai ada hal-hal tak terduga, misalnya meninggal dunia, jika posisi perempuan tidak diberi kepastian, tentu ini Akansegera menjadi masalah Terbaru, dan berkelanjutan. Ini yang kami hindari,” ungkapnya.
Di intinya, kata Kenak, tidak ada aturan agama dan adat yang mempersulit umatnya. Untuk Berjuang Bersama situasi ini, semua pihak harus legawa dan mau menentukan solusi.
Untuk diketahui, Agus didakwa melanggar Pasal 6 huruf a dan/atau Pasal 6 huruf c juncto Pasal 15 ayat 1 huruf e Perundang-Undangan Tindak Pidana Kekejaman Seksual sebagaimana diatur Untuk Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2022. Jika terbukti bersalah, pria tunadaksa yang tidak Memperoleh tangan itu terancam hukuman 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp 300 juta.
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Makna Nganten Keris yang Dilakukan Agus Difabel Menikahi Pujaan Hati