Bandung –
Keberadaan mitos masih melekat kuat Hingga Di Kelompok. Di cerita rakyat hingga kebiasaan turun-temurun yang Disorot sakral, mitos sering kali diwariskan lintas generasi, Justru bersinggungan Di praktik Kebiasaan Global dan kepercayaan.
Akan Tetapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mengingatkan agar Kelompok bisa memilah dan menyikapi keberadaan mitos secara bijak, terutama yang Berpeluang mengarah Di kemusyrikan.
“Memang kepercayaan-kepercayaan semacam mitos itu masih tumbuh ya Hingga Kelompok itu, masih ada. Perkembangannya kalaupun tidak Meresahkan tapi tetap, itu sesuatu yang hidup Di keyakinan Kelompok,” ujar Sekretaris MUI Jawa Barat, Rafani Achyar Pada diwawancarai, belum lama ini
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rafani, keberadaan mitos tidak lepas Di sejarah panjang proses penyebaran Islam. Para penyebar Islam Pada itu menggunakan pendekatan yang tidak konfrontatif, melainkan metode sufistik yang menekankan Di akhlak dan kesantunan.
Hal ini kata Rafani menyebabkan akulturasi Di kepercayaan lama seperti agama nenek moyang dan Hindu, Di ajaran Islam.
“Para wali itu belum tuntas menurut saya, belum tuntas mendakwahkan Islam secara kafah, secara komprehensif, keburu meninggal. Lalu pemerintahan berubah, datang penjajah,” jelasnya.
“Politik penjajah juga begitu, mereka senang kalau Kelompok memahami Islam hanya sebatas fikih dan tasawuf, tapi tidak sampai Hingga ekonomi dan politik. Justru mitos, tahayul, dan khurafat itu dibiarkan,” sambungnya.
Mitos Positif dan Negatif
MUI Jabar membedakan mitos menjadi dua jenis, mitos yang bersifat negatif Sebab mengarah Di kemusyrikan, dan mitos yang dinilai positif Sebab mengandung nilai etika dan pelestarian lingkungan.
“Mitos itu kan menjurus kepada kemusyrikan. Kemusyrikan itu kan mempersekutukan Allah. Di pandangan Islam ini dosa besar,” kata Rafani.
Ia mencontohkan praktik kepercayaan Di pohon keramat atau tempat tertentu yang Disorot Memperoleh kekuatan spiritual. Jika Kelompok mempercayai, Rafani menegaskan hal itu sudah mengarah Di kemusyrikan.
“Kalau mitosnya, umpamanya Hingga suatu tempat ada pohon apa, Lalu orang datang Hingga situ, ziarah, minta ini itu kepada pohon, itu musyrik. Tapi kalau hanya cerita, tidak diyakini secara spiritual, itu tidak masalah,” tegasnya.
Rafani juga menyoroti mitos yang menyebut adanya siluman Hingga danau atau hutan. Menurutnya, asal tidak diyakini sebagai kekuatan tandingan Tuhan, mitos seperti itu tidak melanggar akidah.
“Kalau sudah yakin bahwa itu punya kekuatan melebihi atau menyamai Tuhan, itu Mutakhir terbuka jalan Hingga kemusyrikan,” ujarnya.
Sebagai Alternatif, ada juga mitos yang dinilai positif Sebab mengajarkan etika hidup, seperti mitos larangan buang air kecil sembarangan dan berbicara kasar ketika berada Hingga suatu gunung.
“Kalau mitosnya seperti tidak boleh kencing sembarangan Hingga gunung atau tidak boleh ngomong kasar, menurut saya itu positif. Sebab Di dasarnya itu mengajarkan adab dan menjaga alam,” tutur Rafani.
Kebiasaan Global Menyesatkan
Akan Tetapi, tidak semua mitos Kebiasaan Global dapat dibenarkan. Rafani menyinggung Kebiasaan seperti melarung kepala kerbau Hingga laut, yang kerap dilakukan sebagai bentuk rasa syukur Di ‘penguasa laut’. Ia menilai praktik ini berbahaya Sebab bisa menjerumuskan Di syirik.
“Melarung kepala kerbau Hingga laut itu menurut saya jelaslah berbau kemusyrikan. Itu Di anggapan bahwa kepala kerbau itu diberikan kepada dewa penguasa laut. Itu bukan bentuk syukur kepada Allah, itu musyrik,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa bentuk rasa syukur yang benar Di Islam adalah Di Meningkatkan ibadah, ketaatan, serta bersedekah kepada sesama. “Memberi sesuatu kepada ‘penguasa laut’ itu bukan syukur. Itu musyrik,” katanya.
Pesan Sebagai Kelompok
MUI Jawa Barat mengimbau Kelompok Sebagai kritis Di Berjuang Di mitos, agar tidak terjebak Di pemahaman yang menyesatkan.
“Karena Itu jelaslah ya, Untuk mitos-mitos yang kelihatan mengandung unsur kemusyrikan itu harus dihindari. Tapi mitos-mitos yang hanya sekadar berlatar Dibelakang Kebiasaan Global dan itu positif, ya tidak masalah. Tapi kita harus lurus memahaminya,” ucap Rafani.
Ia pun menutup Di contoh sederhana Yang Terkait Di mitos yang turun termurun bertahan hingga kini. Mitos itu yakni larangan berada Hingga luar Tempattinggal menjelang adzan Magrib.
“Dulu saya Hingga kampung, menjelang magrib itu anak-anak enggak boleh main Hingga luar Tempattinggal. Karena Itu itu sudah harus Hingga masjid, bukan berarti nanti ada jurig, ada apa, bukan. Kita pahami bahwa menjelang magrib itu orang harus sudah siap-siap Sebagai melaksanakan ibadah, salat magrib, baik Hingga masjid maupun Hingga Tempattinggal,” tandasnya.
(bba/orb)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Memaknai Mitos Di Pandangan MUI Jabar