Bandung –
Sejarah kesusastraan Sunda dapat ditarik jauh Ke zaman kerajaan Di mana sastra dikembangkan Untuk Kearifan Lokal lisan yang dominan. Tulisan-tulisan sastra juga masih Untuk media daun lontar.
Di zaman dahulu, kesusastraan terikat Di kisah-kisah kahiangan atau kisah para putra raja. Misalnya Untuk jenis-jenis Carita Pantun. Isi carita pantun nyaris selalu tentang raja atau anak-anak raja. Carita pantun Lutung Kasarung isinya berkelindan Ditengah makhluk kahiangan dan makhluk buana panca Ditengah atau bumi.
Lutung Kasarung adalah Sanghyang Guruminda, anak Sunan Ambu Di Kahiangan yang dikutuk menjadi monyet dan harus melakukan penebusan dosa Di dunia. Dia Setelahnya Itu menikah Bersama perempuan anak seorang raja Pasir Batang.
Zaman berubah, manusia Sunda Setelahnya Itu bersentuhan Bersama mesin cetak, Bersama Alattulis, dan produk kesusastraan barat yang ‘prosaik’ yang dibawa penjajah Belanda. Di Samping itu, ada sekelumit anak-anak kaum menak yang diberi kesempatan bersekolah Di lembaga berkurikulum barat.
Menurut Yeni Mulyani Supriatin Untuk studi berjudul Baruang Ka Nu Ngarora: Representasi Perubahan Sosial Komunitas Sunda Abad XIX, dijelaskan bahwa salah satu yang menikmati Pembelajaran formal ala barat itu adalah Daeng Kanduruan Ardiwinata atau namanya sering disingkat D.K. Ardiwinata.
“Bagi itulah, pemerintah kolonial Melakukan Pembelajaran formal Di Komunitas setempat teristimewa Di para menak ‘bangsawan’ Sunda, termasuk Di dalamnya D.K Ardiwinata,” tulis Yeni.
D.K. Ardiwinata, aktivis pergerakan sekaligus pendiri komunitas besar Paguyuban Pasundan adalah penulis novel berjudul ‘Baruang Ka Nu Ngarora’. Novel ini disebut-sebut sebagai novel modern pertama Untuk bahasa Sunda.
Yang menjadi pembeda jelas Ditengah ‘Baruang Ka Nu Ngarora’ Bersama sastra Sunda lama, selain Untuk bentuknya yang prosa, juga tema yang diangkat Di dalamnya. ‘Baruang Ka Nu Ngarora’ lebih realistis menceritakan keadaan Komunitas dan Bersama latar tempat yang ‘nyata’, tidak mengawang-awang Di kahiangan.
Ceritanya jelas, bahwa Komunitas kecil dipinggirkan secara kultural Dari para menak. Harkat rakyat kecil atau Untuk bahasa D.K. Ardiwinata sebagai ‘cacah kuricakan’ nyaris tidak ada, Sebab secara ekonomi, cacah kuricakan sangat lemah.
Ingin lebih jelas tentang ‘Baruang Ka Nu Ngarora’? Simak sampai tuntas artikel ini yuk!
Waktu Terbit Novel ‘Baruang Ka Nu Ngarora’
Studi Dari Yeni Mulyani Supriatin menyebutkan novel ‘Baruang Ka Nu Ngarora’ yang berarti ‘Racun Bagi Remaja’ karya D.K. Ardiwinata itu pertama kali diterbitkan Di tahun 1914.
Penerbitnya adalah Kerjasamaekonomiinternasional. Kolff & Co Di Weltevreden. Novel Sunda ini diterbitkan Untuk dua jilid. Jilid pertama setebal 63 halaman dan jilid kedua 48 halaman.
Untuk menulis sinopsis novel tersebut Di bawah ini, penulis menggunakan ‘Baruang Ka Nu Ngarora’ yang diterbitkan ulang Dari Kiblat Bacaan Utama (2020), Bersama tebal 107 halaman.
Sinopsis ‘Baruang Ka Nu Ngarora’
‘Baruang Ka Nu Ngarora’ atau Racun Bagi Remaja berkisah tentang Nyi Rapiah yang menikah Bersama pemuda bernama Ujang Kusen. Untuk pernikahan adat Sunda yang tidak selesai Untuk sehari, gangguan kesetiaan datang kepada Nyi Rapiah.
Yaitu, menjelang hari-hari pernikahan datang seorang tukang kain Nyi Dampi, yang Di Samping berdagang Ke Tempattinggal Nyi Rapiah, juga menitipkan sebuah cincin Bersama seorang pemuda anak bupati, namanya Aom Usman.
Sambil menitipkan cincin itu, Nyi Dampi memperlihatkan potret Aom Usman yang membuat Nyi Rapiah goyah Untuk perjodohannya Bersama Ujang Kusen. Bukan hanya goyah Sebab ternyata Aom Usman juga ganteng, Akan Tetapi Sebab kepastian keberlimpahan harta Aom Usman.
Tetapi, Nyi Rapiah menolaknya Bersama halus titipan Nyi Dampi itu. Dia Setelahnya Itu tetap menikah Bersama Ujang Kusen, meski Untuk hatinya teringat terus Akansegera sosok Aom Usman.
Tak Terbiasa Sengsara
Nyi Rapiah si cantik jelita adalah anak Haji Abdul Raup dan merupakan warga Kampung Pasar. Cerita tentangya terjadi Di tahun 1874 Di mana Haji Abdul Raup adalah orang kaya kampung, meski tidak kaya-kaya betul seperti keluarga bupati.
Demikian Ujang Kusen, anak Haji Samsudin, juga tidak sengsara-sengsara betul, dan karenanya, dia harus bekerja lebih keras agar bisa hidup mandiri, tidak bergantung kepada kekayaan orang tuanya.
Sebagai pengantin Mutakhir, terpikir juga Dari Ujang Kusen Bagi merintis usaha. Dia memilih Bagi menjadi juragan Minuman Di Daerah yang Didekat gunung, juga Bagi menjual Busana dan Produk lainnya secara kredit Ke warga kampung. Mereka pun memutuskan pindah.
Kepindahan itu, juga Bagi menghindari Aom Usman yang Setelahnya diperhatikan, tak hentinya melayangkan godaan kepada Nyi Rapiah yang telah sah menjadi istri Ujang Kusen.
Di gunung, Nyi Rapiah yang tak terbiasa bekerja berat, harus bekerja turun naik gunung Bagi memperhatikan orang-orang memanen Minuman. Selain capai, juga tidak ada penghiburan lain Bagi Nyi Rapiah. Jika biasanya matanya diamnjakan Dari pemandangan gedung-gedung atau Tempattinggal yang megah Bersama halaman yang bersih, maka Di kampung gunung dia tinggal Di Tempattinggal gubuk Bersama halaman becek dan tai kotok Di mana-mana.
Situasi itu membuat Nyi Rapiah tidak betah. Gayung bersambut, ketika dia minta izin tidak ikut Ke gunung, datang Si Abdullah, panglayar (mak comblang) Ditengah dia Bersama Aom Usman datang Ke gubugnya.
Kedatangan itu memang suruhan Aom Usman dan akhirnya, Rapiah yang tidak Konsisten Bersama kehidupan bersama Ujang Kusen memutuskan kabur.
Meminta Cerai Bersama Ujang Kusen
Peritiwa kaburnya Nyi Rapiah Bersama Tempattinggal Ujang Kusen membuat Ujang Kusen bingung dan mencari-cari. Tapi nyatanya, Nyi Rapiah senang Bersama kaburnya itu sebab dia Sebelumnya pulang Ke Tempattinggal orang tuanya, bisa berjumpa Bersama Aom Usman Di sebuah Tempattinggal gulang-gulang yang bekerja kepada keluarga Aom Usman.
Nyi Rapiah keesokan harinya tiba Di Tempattinggal orang tuanya, Haji Abdul Raup dan semua keluarganya bertanya ada apa. Diceritakanlah bahwa dia tidak bertah dibawa sengsara Dari Ujang Kusen.
Hubungan pernikahan Nyi Rapiah dan Ujang Kusen akhirnya mengambang. Statusnya masih suami istri tetapi sudah tidak akur dan tidak tinggal bersama.
Hingga suatu hari, Aom Usman memihta seorang preman Bagi mendatangi Tempattinggal Haji Samsudin, ayah Ujang Kusen Bagi meminta kejelasan perceraian Ujang Kusen Bersama Nyi Rapiah.
Maksudnya, Nyi Rapiah mau dinikahi Dari Aom Usman, maka Ujang Kusen harus segera menceraikannya. Jika Aom Usman tidak diberikan apa yang dia minta, maka ‘perceraian’ yang diharapkan itu, biarlah dibeli.
Mendengar ‘dibeli’, Haji Samsudin marah dan meminta Ujang Kusen segera menulis pernyataan talaknya kepada Nyi Rapiah. Surat itu Setelahnya Itu dibawa preman tadi dan diserahkan kepada Aom Usman yang Setelahnya Itu Setelahnya habis masa ‘iddah, Nyi Rapiah menikah Bersama Aom Usman.
Ujang Kusen Dari Sebab Itu Kriminal
Ujang Kusen yang sakit hati dikhianati cintanya Dari Nyi Rapiah. Bahwa jelas-jelas Nyi Rapiah kabur darinya dan menciptakan alasan agar bisa bercerai darinya dan menikah Bersama anak bupati, Aom Usman, Setelahnya Itu menjadi beringas.
Dia menjadi kriminal sejati, meski yang dirampok adalah harta orang tuanya sendiri. Harta itu dipakai Bagi judi, melacur, dan kriminalitas lainnya. Hingga akhirnya Ujang Kusen terpergok Lagi beraksi maling duit bapaknya Bersama brangkas, yang membuatnya masuk penjara.
Tidak Setara Menak-Cacah
Ayah-ibu Aom Usman tidak setuju Bersama pernikahan Aom kepada Nyi Rapiah. Meski molek, Nyi Rapiah tetap Disorot sebagai golongan rendah Sebab bukan Bersama kalangan bupati atau wedana. Tidak setara derajatnya Ditengah menak dan cacah. Kaum bangsawan dan rakyat biasa.
Karenanya, Aom Usman diminta lagi menikah Bersama orang yang sekufu. Ayahnya sudah menyiapkan Kandidat istirnya, yaitu Agang Sariningrat anak Wadana Anu. Aom Usman tak punya pilihan, dia harus menikah lagi.
Nyi Rapiah, ‘janda’ yang tadinya menjadi kesukaan Aom Usman, lambat laun tergantikan Bersama kehadiran Agan Sariningrat yang perawan. Tempattinggal besar yang ditinggali Nyi Rapiah pun dijadikan tempat tinggal Aom Usman dan Agan Sariningrat, Sambil Itu Nyi Rapiah dibuatkan Tempattinggal Mutakhir yang kecil.
Untuk hal dimadu, Nyi Rapiah akhirnya tidak punya kekuatan apapun. Dia hanya tunduk kepada kemauan suaminya itu. Tidak banyak pilihan Bagi perempuan Sunda abad Ke-19 sebagaimana tergambar Untuk novel ini.
(iqk/iqk)
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Mengenal ‘Baruang Ka Nu Ngarora’, Novel Sunda Modern Pertama