Mojokerto –
Selain berjuluk Kampung Gajah Mada, Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto juga menyimpan sejarah Mpu Supo. Yaitu ahli pembuat pusaka yang mengatasi wabah Gangguan mematikan Ke zaman Majapahit.
Julukan Kampung Gajah Mada disematkan kepada Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak. Sedangkan jejak sejarah Mpu Supo berada Ke Dusun Watesumpak. Petilasannya Ke Di makam Dusun Watesumpak masih dirawat Di baik.
Budayawan Mojokerto, Eko Prasetyo (48) menuturkan Mpu Supo ahli membuat pusaka yang hidup jauh Setelahnya era Mahapatih Gajah Mada. Mpu Supo hidup Ke masa pemerintahan Raja Brawijaya tahun 1400-an masehi. Sedangkan Gajah Mada Ke masa Tribuwana Tunggadewi 1328-1350 masehi sampai Hayam Wuruk 1350-1389 masehi.
“Beliau ahli membuat pusaka. Salah satu karya beliau Keris Kiai Sengkelat,” kata Eko kepada detikJatim, Kamis (20/3/2025).
Pandai besi Ke Dusun Jatisumber (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Konon kala itu terjadi wabah Gangguan Ke Majapahit yang disebabkan Keris Condongsari, buatan mpu lain. Penduduk Majapahit yang paginya sehat, tiba-tiba sorenya mati. Menurut Eko, kematian akibat wabah tanpa memandang usia.
“Raja Brawijaya menugaskan Mpu Supo Untuk mengatasinya. Supo memimpin 100 mpu Ke Majapahit membuat Kiai Sengkelat. Terjadi lah pertarungan 2 pusaka yang dimenangkan Kiai Sengkelat Agar wabah berakhir,” ujarnya.
Pria kelahiran Jatisumber yang akrab disapa Mas Bumi ini mengisahkan Mpu Supo pula yang membuat pusaka Payung Tunggulnogo. Pusaka ini yang membuat kehidupan Ke Majapahit menjadi damai dan tenteram. Akan Tetapi, pusaka itu dicuri dan dibawa Hingga Blambangan yang sekarang menjadi Banyuwangi.
Agar Mpu Supo ditugaskan Hingga Blambangan Dari Raja Majapahit kala itu Untuk Membahas Payung Tunggulnogo. Ia menyamar menjadi Ki Pitrang Mandrangi. Lantaran kecerdikannya, ia mampu membawa kembali pusaka Hingga Majapahit. Justru, ia dinikahkan Di adik Adipati Blambangan, Dewi Upas.
“Pernikahan Supo dan Dewi Upas melahirkan Joko Tole. Akhirnya Mpu Supo kembali Hingga Majapahit membawa Payung Tunggulnogo,” terangnya.
Petilasan Ke Di makam Dusun Watesumpak, kata Eko, tempat Mpu Supo menempa pusaka. Pendapatnya ini merujuk Ke catatan Belanda tahun 1901. Sedangkan Untuk menjamas pusaka, Mpu Supo menggunakan air pohon jati raksasa yang kini berada Ke Punden Mbah Sumbersari, Dusun Jatisumber. Pohon Di garis Di Disekitar 2 meter ini, Pada tengahnya berlubang dan menyimpan air.
“Lantaran pohon jati ini tengahnya berlubang dan ada airnya. Ini air 2 pertemuan Di langit dan bumi, energi alam bawah dan atas bersatu, disertai lelaku (tirakat) Mpu Supo menjamas itu masuk lah energi gaib Hingga pusaka,” jelasnya.
Atas jasa besarnya, Mpu Supo Merasakan hadiah tanah kamardikan Ke Sedayu, Gresik Di Raja Majapahit. Menurut Eko, Mpu Supo juga diberi gelar Pangeran Sedayu. Diakui atau tidak, keahlian Mpu Supo diwarisi warga Dusun Jatisumber. Kampung Gajah Mada ini menjadi sentra pande besi Ke 1970-an sampai 1990-an.
“Orang tua saya juga pande besi, masa kecil saya cari uang jajan Di kerja Ke pande besi. Di ini tinggal 1 pande besi. Berkembangnya zaman, Kelompok beralih menjadi pengukir patung batu,” cetusnya.
Budayawan Mojokerto, Agus Suprianto berpendapat Mpu Supo hidup Ke masa Majapahit akhir atau abad 15 masehi. Kala itu, Majapahit dipimpin Bhre Pandansalas dan Patih Udara. Ia juga meyakini petilasannya Ke Dusun Watesumpak dulunya tempat Mpu Supo menempa pusaka.
Lalu Mpu Supo menjamas pusaka menggunakan air Di pohon jati raksasa yang kini berada Ke kompleks Punden Mbah Sumbersari. Menurut Agus, pohon jati itu tingginya mencapai Disekitar 70 meter. Pohon raksasa ini tumbang Disekitar 2011 Lantaran diterpa angin kencang. Agar tersisa Pada pangkalnya.
“Merujuk catatan Belanda akhir abad 18, dulu kala nama desanya Jatisumber, bukan Watesumpak. Nama Jatisumber Di pohon jati yang ada sumber airnya. Juga disebutkan ada petilasan Mpu Supo dan punden Mbah Sumbersari,” tegasnya.
Hingga era modern, Punden Mbah Sumbersari masih dikunjungi warga Di berbagai keperluan. Mereka meyakini air Ke pohon jati raksasa ini bertuah. Ke sisi lain, kata Agus, Kemahiran pande besi Mpu Supo diwarisi warga Dusun Jatisumber.
“Kemahiran beliau turun temurun juga menjadi bukti. Kakek saya, Abdul Manaf juga pande besi tradisional, masih pakai ubub. Akan Tetapi, pande besi tradisional kini tinggal 1 orang saja,” ujarnya.
Pande besi yang tersisa Ke Dusun Jatisumber adalah Sulkan (66). Menurut Agus, jumlah pande besi Ke kampungnya sempat mencapai 50 orang. Masa keemasan pande besi tahun 1970-1990an. Mereka memproduksi aneka alat Pertanian, seperti sabit, cangkul, parang Untuk dikirim Hingga Kalimantan dan Sumatera ketika gencar Langkah transmigrasi.
“Pande besi berkurang sedikit Untuk sedikit Lantaran anak-anak muda memilih menjadi pemahat patung. Lantaran memang penghasilannya lebih banyak,” ungkapnya.
Sulkan menjadi pande besi Dari 1971. Ia berlajar Di ayahnya dan Di para pande besi Ke Dusun Jatisumber. Yang Berhubungan Di Mpu Supo, ada satu mitos yang dipercaya warga Desa Watesumpak. Konon tidak boleh ada pande besi Ke Dusun Watesumpak. Sebab Ke dusun ini terdapat tempat Mpu Supo menempa pusaka.
“Konon katanya Lantaran Mpu Supo ada Ke Dusun Watesumpak Agar tidak boleh menyaingi beliau. Di zaman dulu pande besi Ke Dusun Jatisumber semua. Sudah sering kejadian (melawan mitos), tidak lama habis sekaligus orangnya,” jelasnya.
Kadus Jatisumber Wawan Ariyanto mengaku tidak pernah mendengar mitos tersebut. Akan Tetapi, ia membenarkan tidak ada pande besi yang beroperasi Ke Dusun Watesumpak.
“Mitos seperti itu saya tidak pernah dengar, tapi kenyataannya Di dulu tidak ada (pande besi Ke Dusun Watesumpak), hanya Ke Jatisumber,” tandasnya.
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Mengenal Mpu Supo dan Warisannya Ke Kampung Gajah Mada Mojokerto