Mengulik Jejak Gelar Raden Di Kampung Karadenan Bogor

Bogor

Di RW IV, Kelurahan Karadenan, Cibinong, Kabupaten Bogor, gelar Raden” bukan sekadar hiasan Di Didepan nama, tetapi jejak sejarah yang melekat Di ratusan keluarga. Akan Tetapi, Di balik kebanggaan itu, tersimpan rasa minder Bersama sebagian warganya.

“Banyak yang malu, Justru ingin mencabut gelarnya, Sebab menganggap Raden itu identik Bersama orang kaya, tanah luas, hidup serba cukup. Padahal kenyataannya sekarang tidak begitu,” ujar Raden Haji Dadang Supadma (58), tokoh setempat, belum lama ini.

Keprihatinan itu muncul Dari warga, khususnya anak-anak, kerap kesulitan menjawab pertanyaan tentang asal-usul gelar mereka ketika disinggung Di sekolah umum atau pondok pesantren. Rasa penasaran dan kebingungan itu memicu Dadang Sebagai menelusuri silsilah Raden Di Karadenan secara mandiri Dari 2013. “Saya door to door, tanya Hingga para sesepuh, mencocokkan cerita. Tapi sulit, Sebab banyaknya versi lisan,” kenangnya.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terobosan datang ketika sebuah lemari tua dibongkar warga. Di dalamnya terselip manuskrip berbahasa Arab-Sunda Cirebonan yang diperkirakan ditulis Di 1800-an. Naskah itu memuat daftar nasab yang menghubungkan keturunan Karadenan Bersama tokoh leluhur, termasuk Mbah Raden Syafe’i. “Begitu dibaca, nyambung. Bersama situ mulai jelas mata rantainya,” kata Haji Dadang, sapaan akrabnya.

Bersama para tetua kampung Bersama Karadenan, Sukaraja, hingga Jatinegara Kaum, ia membentuk Skuat Sebagai mendata ulang garis keturunan. Hasilnya disalin, digabung, dan dibahas rutin setiap bulan. Dadang berharap data ini menjadi pusat informasi agar generasi penerus tak lagi terbebani Dari ketidaktahuan. “Raden itu warisan, bukan ukuran ekonomi. Maknanya ruh dan din. Pesan orang tua agar kita menjaga perilaku,” tegasnya.

Kini, berkat temuan dan pendataan itu, banyak warga kembali Kepercayaan Diri. Mereka bukan hanya tahu Bersama mana gelar itu berasal, tapi juga mengerti pesan moral yang diwariskannya.

Haji Dadang mengakui bahwa penelusuran silsilah dan sejarah leluhur kerap Merasakan pasang surut semangat. Kebuntuan. Terlebih dia bergerak dia harus merogoh kocek sendiri Sebagai segala urusan yang dia Lagi selami itu.

Haji Dadang juga mengakui bahwa catatan yang dia buat masih perlu penyempurnaan Sebagai menegaskan bahwa penduduk kaum adalah murni keturunan para pembesar Sunda baheula Dari era kerajaan.

Menjaga Nafas Kebiasaan Di Kampung Kaum

Banyak warga bergelar raden Di Kelurahan Karadenan, Cibinong, Kabupaten Bogor Foto: Andry Haryanto/detikJabar

Di Kampung Kaum, Karadenan, waktu seakan berjalan berdampingan Bersama masa lalu. Di Di derasnya arus modernisasi, warga tetap setia memelihara Kebiasaan leluhur. “Sedekah Tolak Bala itu masih kami jalankan setiap Kamis sore Pada bulan Safar. Puncaknya disebut Sedekah Kupat,” tutur Haji Dadang.

Dahulu kala, Haji Dadang melanjutkan, ritual ini dilakukan Di perempatan jalan, Akan Tetapi kini berpindah Hingga masjid dan musala. Bagi warga, bulan Safar diyakini sebagai masa diturunkannya ribuan Gangguan, Supaya doa dan sedekah menjadi perisai yang menjaga mereka.

Kebiasaan lain yang tak pernah absen adalah Maulid Nabi Bersama kemasan khas dan diyakini berbeda Bersama prosesi Maulid Di tempat lainnya. Warga tidak hanya membaca Syaroful Anam, tetapi juga Melakukan prosesi Alat Potong rambut bayi. Kadang jumlah peserta mencapai 30 hingga 50 anak. Mereka boleh Bersama kalangan warga bergelar raden ataupun bukan.

Setelahnya rambut dipotong, bayi diarak kembali Hingga Rumah orang tuanya Di karnaval Kebiasaan Global, diiringi rebana, layaknya pengantin kecil yang disambut Bersama saweran. Ada pula Maulid Syekh Saman, warisan unik yang hanya ditemukan Di sini.

Meski tanpa gerakan tari seperti Di Aceh, lantunan syairnya mengisahkan perjalanan Nabi Muhammad SAW dan biografi Syekh Saman, dibawakan Bersama gaya langgam yang berbeda Bersama tempat lain.

Bagi Komunitas Kampung Kaum, pusaka adalah identitas yang melekat. Keris, kujang, tombak, hingga gong diwariskan Bersama generasi Hingga generasi. Sebagian besar kini tersimpan Di Museum Keris Karadenan, yang didirikan Haji Dadang Di 2015. “Kalau tidak kita simpan, lama-lama hilang dimakan zaman,” ujarnya.

Pengurus Masjid Al Atiqiyah, Raden Ruslan Awaludin (46), menambahkan bahwa Kegiatan besar seperti Maulid Syekh Saman selalu diiringi pembagian bongsang atau ambeng Sebagai ribuan jamaah, dibagikan Bersama cara tradisional. “Ini bukan sekadar Minuman, tapi simbol kebersamaan,” katanya.

Menurut Ruslan, Kegiatan Maulid bisa lebih ramai ketimbang lebaran. Sebab Di sini setiap Rumah sibuk Menyusun sedekah yang Berencana dibawa Hingga masjid dan dibagikan Hingga jemaah yang datang. “Lebaran biasa aja Di sini, tapi kalau maulid warga-warga yang merantau Di pulang. Bantu-bantu Di dapur atau kegiatan lain Sebagai Kegiatan Maulid,” kata Rusla.

Harapan Haji Dadang dan Ruslan tidak muluk Yang Terkait Bersama sejarah kampung halamnnya. Sederhana, yaitu agar Kampung Kaum diakui sebagai Pada Bersama cagar Kebiasaan Global Kabupaten Bogor. Sebab Di sini, Kebiasaan bukan sekadar masa lalu yang dikenang, melainkan napas yang terus dihirup, hari Bagi hari.

Halaman 2 Bersama 2

(iqk/iqk)






Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Mengulik Jejak Gelar Raden Di Kampung Karadenan Bogor