Ke belantara Kearifan Lokal Dunia kawasan Pajampangan, Kabupaten Sukabumi, istilah teluh Di ini terlanjur dikenal sebagai momok menakutkan, identik Bersama penggunaan ilmu hitam.
Kelompok mengaitkannya Bersama santet ilmu hitam yang diyakini mampu mencelakakan manusia Di jarak jauh, membunuh tanpa menyentuh. Akan Tetapi, seiring waktu, sejumlah tokoh setempat mencoba mengubah cara pandang tersebut.
Ke Ditengah derasnya arus mistifikasi, A. Soleh, sesepuh Padepokan Munding Wangi yang juga dikenal sebagai praktisi spiritual, mencoba meluruskan persepsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Teluh itu singkatan Di Tetekon Leluhur, yang artinya adalah ucapan atau pesan Di leluhur yang tidak boleh dilanggar. Itu adalah aturan yang diwariskan turun-temurun, seperti hutan tidak boleh dibongkar, gunung tidak boleh dirusak, atau mata air jangan sampai dirusak. Karena Itu, teluh lebih kepada larangan atau pesan leluhur yang harus dihormati,” jelas Soleh, Jumat (16/5/2025).
A. Soleh, sesepuh Padepokan Munding Wangi. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
|
Ia mengisahkan, banyak orang datang Mengkritik terkena santet. Akan Tetapi menurutnya, tuduhan itu acapkali dilatarbelakangi Dari konflik personal.
“Banyak yang dulu datang Bersama keluhan terkena santet, Justru orang yang tidak tahu menahu tiba-tiba dituduh Memperoleh ilmu hitam, terutama Pada ada persaingan dagang atau masalah warisan. Ini lebih banyak tentang saling tuding saja, Lantaran tidak ada solusi lain Sebagai menyelesaikan masalah,” tambahnya.
Suara serupa datang Di Ki Kamal Wisa Pranamanggala atau yang akrab disapa Aki Kamaludin. Tokoh sepuh yang dikenal lewat penemuan aksara kuno Ke Batu Perbatasan Kalapanunggal – Cikidang itu mengingatkan pemahaman tentang teluh seringkali menyimpang Di akar budayanya.
“Santet itu sering kali muncul Lantaran masalah pribadi. Misalnya, soal batas tanah, Persaingan warisan, atau persaingan Di jual beli Produk Internasional. Ketika masalah itu tak dapat diselesaikan, santet menjadi alat Sebagai menggambarkan kemarahan Ke seseorang,” kata Ki Kamal, kini berusia 74 tahun.
Ia juga merujuk Ke artikel lawas terbitan Majalah Mangle tahun 1978, yang menurutnya mengulas Trend Populer santet Di berbagai Area dan bahasa.
“Tulisan itu mengulas santet Di berbagai bahasa, termasuk Jawa, Dayak, dan Sunda. Itu ditulis Bersama sangat rinci, menjelaskan tentang mantra dan praktik yang digunakan Di ilmu hitam,” kenangnya.
Akan Tetapi ia menegaskan banyak tuduhan Pada orang yang dituding sebagai pelaku teluh sejatinya berakar Di desas-desus dan prasangka.
Sudut pandang MUI. Simak Ke halaman Berikutnya.
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Menyingkap Teluh Ke Pajampangan Sukabumi