Gianyar –
Hari Raya Galungan Ke Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali, diwarnai Kebiasaan ‘ngejot tumpeng’. Ke mana warga setempat berkeliling Melakukan Kunjungan Hingga Tempattinggal pengantin Terbaru Menyediakan tumpeng atau ngejot tumpeng.
Ibu-ibu berbondong-bondong datang sambil nyuwun (membawa sesuatu Ke atas kepala) Ke Rabu (23/4/2025) Sebelum pukul 08.00 Wita. Ke Antara mereka ada yang datang bersama teman, pasangan, maupun buah hati. Alas yang digunakan pun bermacam-macam mulai Di Piring, besek, hingga bokor (wadah Di logam).
Banten soda. (Ni Komang Ayu Leona Wirawan)
|
detikBali berkesempatan hadir Ke satu Di delapan Tempattinggal yang melangsungkan ‘ngejot tumpeng’. Mereka yang Memperoleh satu banten soda berisi sampian, tumpeng, buah, kudapan, dan beras merupakan pengantin yang menikah enam bulan Sebelumnya Galungan.
Salah satunya Krisna Dewi asal Desa Keramas, Gianyar. Ia menikahi pasangannya yang merupakan warga Desa Medahan Ke Januari lalu. Dibantu Di anggota keluarga pihak suami, Krisna menyiapkan tape dan jaja uli sebagai balasan seusai Memperoleh rangkaian tumpeng.
“Buat tapenya Sebelum tiga hari lalu sebanyak 25 kg. Kan perlu waktu Sebagai fermentasi. Kalau jaja uli dibuat kemarin, cukup sehari saja. Ini Sebagai Karena Itu kembalian krama banjar,” tutur Krisna.
Tidak ada aturan waktu Untuk warga Banjar Medahan Sebagai datang Hingga Tempattinggal-Tempattinggal pengantin Terbaru membawa rangkaian tumpeng. Biasanya prosesi Akansegera selesai Ke siang hari. Lalu, sampian dan tumpeng yang diterima digunakan Sebagai natab (prosesi sembahyang Di menggerakkan kedua tangan Hingga arah badan).
Gusti Biang Siti, mertua Di Krisna Dewi, menjelaskan ngejot tumpeng adalah sebagai ucapan selamat. Juga sebagai penyambutan warga Terbaru.
“Kalau bisa dilakukan berpasangan. Tapi, Lantaran anak laki-laki saya kerja Ke kapal pesiar, sudah berangkat Di sebulan yang lalu. Ini dibantu (anggota keluarga) yang lain,” ujarnya.
Pemangku Pura Masceti sekaligus tokoh adat Ke Desa Medahan, Jero Mangku Made Puspa, juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, ini sebagai tanda seseorang mulai menjadi Dibagian krama adat.
“Kami ngejot tumpeng, imbalannya tape. Utamanya tumpeng satu buah Di sampaian. Di satu tumpeng, yang agak panjangan sedikit dan peneknya lagi satu itu tanda perkawinan. Sampaiannya Sebagai menyampaikan terima kasih. Tapenya itu imbalan Di pengantin. Kan nasinya berubah Karena Itu tape itu simbol bahwa kita sudah bersahabat. Kan lengket tape itu supaya erat juga,” terang Jero Mangku.
Tidak diketahui pasti Sebelum kapan Kebiasaan ngejot tumpeng ini berlangsung. Tetapi, Jero Mangku Berkata Kebiasaan ini sudah dicatatkan Untuk awig-awig. Krama (warga) Untuk satu banjar bersifat wajib melakukan ngejot tumpeng. Sambil banjar lainnya bersifat opsional, termasuk juga keluarga dan teman Di pihak istri.
“Kalau tidak ngundang Pada kawin, tidak dijot, tidak diberi tumpeng. Kan rumahnya juga diketahuinya Pada kawin. Kan sudah pernah Hingga sana Sebagai mebat (membuat lauk pauk Di daging yang dicincang). Kalau tidak pernah Hingga sana jadinya tidak dijot. Ke sini kan tidak ada penjor dan lamak yang beda Di yang nganten (menikah). Kalau orang Karya Seni dan lagi bahannya ada, bisa saja panjang lamaknya. Lamak anten namanya,” tambah Jero Mangku.
Selain ngejot tumpeng, Desa Medahan juga punya Kebiasaan serupa Ke Pada Nyepi. Namanya pengatag, yang mana pengantin yang menikah Didekat hari Nyepi diberikan potongan daging sapi Di krama banjar. Tetapi, Kebiasaan ini sudah lama menghilang dan tidak diketahui penyebabnya.
Artikel ini disadur –> detik.com Indonesia News: Ngejot Tumpeng Berbalas Tape, Kebiasaan Galungan Ke Gianyar